Rabu, 28 Mei 2014
BAIK DAN BURUK
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Baik dan buruk merupakan dua istilah
yang banyak digunakan untuk menentukan suatu perbuatan yang dilakukan
seseorang. Kita misalnya mengatakan orang itu baik dan orang itu buruk. Masalahnya
apakah yang disebut baik dan buruk itu? Dan apa ukuran atau indicator yang
dapat digunakan untuk menilai pebuatan itu baik atau buruk? Dan apakah baik dan
buruk itu merupakan sesuatu yang mutlak atau relative? Dan bagaimana pandangan
islam terhadap baik dan buruk berikut hal-hal yang tekait dengan keduanya itu?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu
dicarikan jawabannya sehingga pada saat kita menilai sesuatu itu baik atau
buruk memiliki patokan atau indicator yang pasti. Untuk itu pada makalah ini
akan dibahas pengertian baik dan buruk, ukuran untuk menilai baik dan buruk,
sifat baik dan buruk, serta pandangan islam mengenai baik dan buruk. Pembahasan
masalah ini kita masukkan disini karena berkaitan dengan pembahasan tentang
akhlak, sehingga dikatakan bahwa ilmu akhlak ini membahas tentang tingkah laku
dan perbuatan manusia dan menetapkannya baik atau buruk.
B.
Tujuan
Penulisan
1.
Mengetahui
tentang pengertian Baik dan Buruk
2.
Mengetahui
tentang ukuran baik dan buruk
3.
Mengetahui
sifat yang baik dan buruk menurut ajaran Islam.
BAB II
PERMASALAHAN
Adapun permasalahan yang akan dibahas pada makalah ini yaitu:
A.
Pengertian Baik
dan Buruk
B.
Ukuran Baik dan
Buruk
C.
Sifat dari baik
dan buruk menurut ajaran dalam islam.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Pengertian baik
dan buruk.
Dari segi bahasa, baik adalah terjemahan dari kata khair dalam
bahasa Arab, atau good dalam bahasa Inggris. Louis Ma’luf dalam
kitabnya, Munjid, mengatakan bahwa yang di sebut baik adalah sesuatu
yang telah mencapai kesempurnaan. Sementara itu dalam Webster’s New
Twentieth Century Dictonary, dikatakan bahwa yang di sebut baik adalah
sesuatu yang menimbulkan rasa keharuan dalam kepuasan, kesenangan, persesuaian
dan seterusnya. Yang baik itu juga dapat berarti sesuatu yang sesuai dengan
keinginan.
Dari definisi di atas dapat di artikan bahwa yang di sebut baik
(kebaikan) adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan yang luhur,
bermartabat, menyenangkan dan disukai manusia.[1]
Ada pendapat yang mengatakan bahwa setiap manusia mempunyai
kekuatan insting. Hal ini berfungsi untuk dapat membedakan mana yang benar dan
mana yang salah, yang berbeda-beda karena pengaruh kondisi dan situasi
lingkungan. Dan seandainya dalam satu lingkungan pun belum tentu mempunyai
kesamaan insting. Kemudian pada diri manusia juga mempunyai ilham yang dapat
mengenal nilai sesuatu itu baik atau buruk.
Pengertian benar (baik) menurut etika (ilmu akhlak) ialah hal-hal
yang sesuai atau cocok dengan peraturan-peraturan. Secara objektif “benar”
adalah satu, tidak ada dua benar yang bertentangan. Sebaliknya pengertian salah
(buruk) menurut etika adalah hal-hal yang tidak sesuai dengan
peraturan-peraturan yang berlaku. Apabila ada dua hal yang bertentangan,
mungkin salah satunya benar atau kedua-duanya salah.[2]
Menurut kami, baik itu adalah sesuatu yang tidak bertentangan
dengan agama, peraturan atau norma yang berlaku dalam suatu wilayah. Tetapi
buruk justru berlawanan dengan pengetian baik.
B.
Ukuran baik dan
buruk
Karena baik dan buruk merupakan keadaan yang melekat pada setiap
aktivitas manusia, maka persoalan baik dan
buruk adalah persoalan manusia. Oleh sebab itulah banyak orang tertarik
membicarakannya dan berupaya merumuskan pengertian dan indikator yang
digunakan. Rumusan itu beragam sehingga muncul beberapa pandangan dalam memberi
penilaian terhadap suatu perbuatan. Berikut adalah memperjelas persepsi tentang
ukuran yang digunakan untuk menilai suatu perbuatan.
1.
Adat atau kebiasaan.
Setiap kelompok masyarakat memiliki adat kebiasaan yang di warisi
dari pedahulunya. Oleh kelompok tersebut, adat digunakan sebagai tolak ukur
menentukan baik dan buruknya suatu perbuatan. Suatu perbuatan di nilai baik
jika sesuai dengan jiwa adat dan sebaliknya di nilai buruk jika tidak sejalan
dengan adat dengan adat setempat. Tentu saja ukuran ini memiliki kelemahan,
sebab adat itu sifatnya local dan ini menimbulkan penilaian yang bersifat lokal
juga.[3]
Di dalam masyarakat kita jumpai adat-istiadat yang berkenaan dengan
cara berpakaian, makan, minum, bercakap-cakap, bertandang dan sebagainya. Orang
yang mengikuti cara-cara yang demikian itulah yang di anggap orang yang baik
dan orang yang menyalahi nya adalah orang yang buruk.
Kelompok yang menilai baik dan buruk berdasarkan adat-istiadat
dalam tinjauan filsafat di kenal dengan istilah aliran sosialisme. Munculnya
paham ini bertolak dari anggapan karena masyarakat itu terdiri dari manusia,
maka ada yang berpendapat bahwa masyarakatlah yang menentukan baik dan buruknya
tindakan manusia yang menjadi anggotanya.[4]
2.
Hedonisme
(kebahagiaan/kelezatan)
Sesuai dengan teori filosof, bahwa tujuan akhir dari kehidupan ini
adalah untuk menikmati kebahagiaan dan kelezatan, maka semua perbuatan yang
mendatangkan kesedihan dan kepahitan di pandang buruk.
Hedonisme di maksud terdiri dari kebahagiaan individual. Disini
kebahagiaan pribadi di jadikan sebagai ukuran tanpa mempertimbangkan
kepentingan yang lain. Di samping itu, hedonisme mengandung makna kebahagiaan
kolektif. Disini kebahagian bersamalah yang menjadi tolak ukur.[5]
Paham hedonisme ini ada yang bercorak individual dan universal.
Corak pertama berpendapat bahwa yang di pentingkan terlebih dahulu adalah
mencari sebesar-besarnya kelezatan dan kepuasan untuk diri sendiri dan segenap
upaya harus diarahkan untuk mencari kebahagiaan dan kelezatan yang bercorak
individualistik. Sedangkan corak universalistis hedonisme memandang bahwa
perbuatan yang baik itu adalah yang mengutamakan mencari kebahagiaan yang
sebesar-besarnya untuk sesama bahkan segala makhluk yang berperasaan.
3.
Utilitarisme
(kegunaan)
Secara harfiah, utilis berarti berguna. Menurut paham ini yang baik
adalah yang berguna. Paham penentuan baik-buruk berdasarkan nilai guna ini
mendapatkan perhatian di masa sekarang. Kegunaan dalam arti bermanfaat yang
tidak hanya berhubungan dengan materi melainkan juga dengan yang bersifat
rohani bisa di terima. Dan kegunaan bisa juga di terima jika yang digunakan itu
hal-hal yang tidak menimbulkan kerugian bagi orang lain. Misalnya Nabi yang
menilai orang baik adalah orang yang memberi manfaat pada yang lainnya.[6]
Atau bisa dikatakan kalau aliran ini mengukur suatu perbuatan
dengan azas guna. Bila perbuatan itu mengandung manfaat dan guna di anggap baik
dan sebaliknya jikatidak ada manfaat dan kegunaannya di pandang buruk.
4.
Vitalisme
(wibawa)
Aliran ini berprinsif baik atau buruknya suatu perbuatan tergantung
kepada ada tidaknya daya hidup yang membuat pelakunya di segani dan ditakuti
atau tergantung kepada daya yang mendukung kelangsungan hidup.[7]
Paham ini pernah dipraktekkan para penguasa di zaman feodalisme
terhadap kaum yang lemah dan bodoh. Dengan kekuatan dan kekuasaan yang dimiliki
ia mengembangkan pola hidup feodalisme kolonialisme, diktator dan tirank.
Kekuatan dan kekuasaan menjadi lambing dan status sosial untuk di hormati.
Ucapan, ketetapan dan perbuatan yang dikeluarkannya menjadi pegangan bagi
masyarakat. Hal ini bisa berlaku, mengingat orang-orang yang lemah dan bodoh
selalu mengharapkan pertolongan dan bantuannya.
Dalam masyarakat yang sudah maju, dimana ilmu pengetahuan dan
keterampilan sudah mulai banyak dimiliki oleh masyarakat. Paham vitalisme tidak
akan mendapat tempat lagi dan digeser dengan pandangan yang bersifat
demokratis.[8]
5.
Idealisme
(kemauan)
Suatu perbuatan di nilai baik jika dilakukan menurut ide dan
keinginan sendiri, sebaliknya jika dilakukan menurut ide orang lain di pandang
tidak baik (buruk).[9]
Dengan demikian, maka menurut aliran ini adalah merupakan faktor
terpenting dari wujudnya tindakan-tindakan yang nyata. Oleh karena itu kmauan
yang baik adalah menjadi dasar pokok dalam etika idealisme.
6.
Teologisme
Aliran ini berpendapat bahwa yang menjadi ukuran baik dan buruknya
perbuatan manusia adalah didasarkan ajaran Tuhan, apakah perbuatan itu
diperintahkan atau di larang oleh-Nya. Segala perbuatan yang diperintahkan
Tuhan itulah yang baik dan segala perbuatan yang di larang oleh Tuhan itulah
perbuatan yang buruk, dimana ajaran-ajaran tersebut sudah dijelaskan dalam
kitab suci.[10]
C.
Sifat dari baik
dan buruk menurut ajaran dalam islam.
Sifat dari baik dan buruk tetap
berguna sesuai dengan zamannya dan ini dapat dimanfaatkan untuk menjabarkan
keetentuan-ketentuan baik-buruk yang terdapat dalam ajaran akhlak yang
bersumber dari ajaran islam.
Menurut ajaran islam penentuan baik
dan buruk harus di dasarkan pada petunjuk al-Qur’an dan al-Hadits.[11]
Sifat-sifat yang baik seperti:
sabar, jujur, ramah, murah hati, mengutamakan yang lebih membutuhkan,
mencukupkan apa yang ada, berani, pemaaf, lemah lembu, rendah hati dan pemalu.
Sedangkan sifat-sifat yang buruk seperti: kikir, sombong dan angkuh, pendusta,
dengki, bermuka dua, berburuk sangka, pemalas, gunjing, adu domba, rakus,
penghayal, penakut.
Jadi menurut kami, sifat-sifat di
atas hanya sebagian contoh dari sifat yang baik ataupun buruk, banyak lagi
contoh sifat yang tergolong sifat yang baik seperti ikhlas dan sifat yang buruk
seperti bangga menyebut kebaikan yang di perbuat.
BAB IV
PENUTUP
A.
Simpulan
Dari pembahasan di atas dapat
disimpulkan bahwa, baik dan buruk itu sangat berpengaruh dalam kehidupan
sehari-hari. Apabila kita melakukan suatu perbuatan yang tidak bertentangan
dengan suatu hukum maka bisa di katakan perbuatan itu adalah baik dan
sebaliknya jika perbuatan tersebut melanggar suatu hukum (norma yang berlaku)
maka itu adalah buruk.
Ada beberapa hal yang bisa dijadikan
tolak ukur dalam menentukan baik dan buruk. Hal itu sudah dijelaskan dalam
pembahasan ini.
B.
Saran
Bagi pembaca sekalian dapat menjadikan pembahasan
dalam makalah yang berjudul “baik dan buruk” ini sebagai tambahan pengetahuan
dalam mempelajari akhlak tasawuf.
DAFTAR
PUSTAKA
Nata, Abuddin. 2011. Akhlak Tasawuf . Jakarta: Rajawali Pers
Mustofa. 2010. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia
Ritonga,
Rahman. 2005. Akhlak Merakit Hubungan Dengan Sesama Manusia. Surabaya:
Amalia
[1] Prof. Dr. H.
Abuddin Nata, M.A., Akhlak Tasawuf
(Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 104-105
[2] Drs. H. A.
Mustofa, Akhlak Tasawuf (Bandung:
Pustaka Setia, 2010), h. 53-54
[3] Prof. Dr. H.
A. Rahman Ritonga, MA, Akhlak Merakit Hubungan Dengan Sesama Manusia
(Surabaya: Amalia, 2005), h. 10
[4]
Prof. Dr. H.
Abuddin Nata, M.A., Akhlak Tasawuf
(Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 107
[5] Prof. Dr. H.
A. Rahman Ritonga, MA, Akhlak Merakit Hubungan Dengan
Sesama Manusia (Surabaya: Amalia, 2005), h. 10
[6]
Prof. Dr. H.
Abuddin Nata, M.A., Akhlak Tasawuf
(Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 109 dan 114-115
[7]
Prof. Dr. H. A.
Rahman Ritonga, MA, Akhlak Merakit Hubungan Dengan Sesama Manusia
(Surabaya: Amalia, 2005), h. 11
[8]
Prof. Dr. H.
Abuddin Nata, M.A., Akhlak Tasawuf
(Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 115-116
[9]
Prof. Dr. H. A.
Rahman Ritonga, MA, Akhlak Merakit Hubungan Dengan Sesama Manusia
(Surabaya: Amalia, 2005), h.11
[10]
Drs. H. A.
Mustofa, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 80
[11]
Prof. Dr. H.
Abuddin Nata, M.A., Akhlak Tasawuf
(Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 119
PENDIDIKAN AKHLAK TASAWUF DIPERGURUAAN TINGGI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kedudukan akhlak dalam kehidupan manusia menempati tempat
yang penting sekali, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat
dan bangsa. Sebab jatuh bangunnya, jaya hancurnya, sejahtera rusaknya suatu
bangsa dan masyarakat, tergantung kepada bagaimana akhlaknya. Apabila akhlaknya
baik (berakhlak), akan sejahteralah lahir batinnya, akan tetapi apabila
akhlaknya buruk (tidak berakhlak), rusaklah lahirnya dan batinnya. Demikan pula
pada tingkat perguruan tinggi. Sudah semestinya pendidikan akhlak diintegrasikan
dalam berbagai mata kuliah lain yang sesuai. Bahkan dalam sistem penilaian, semestinya ada
porsi tersendiri untuk akhlak ini (tidak hanya quiz, tugas, midterm dan
final). Pertanyaan yang muncul mungkin terkait dengan apakah akhlak tersebut
bisa diukur atau tidak dan bagaimana cara mengukurnya. Kalau yang ditanyakan
adalah pengukuran secara komprehensif, saya pikir memang akan sangat sulit.
Tapi bila yang diukur adalah terkait dengan akhlak peserta didik selama di
dalam kelas (seperti akhlak terhadap dosen, akhlak terhadap sesama teman,
kejujuran dalam mengerjakan tugas kuliah dan saat mengikuti ujian) tentu bukan
tidak mungkin dilakukan.
Seseorang yang berakhlak mulia, selalu melaksanakan
kewajiban-kewajibannya, memberikan hak yang harus diberikan kepada yang berhak,
dia melakukan kewajibannya terhadap dirinya sendiri, yang menjadi hak dirinya,
terhadap Tuhannya, yang menjadi hak Tuhannya, terhadap makhluk yang lain,
terhadap sesama manusia, yang menjadi hak manusia lainnya, terhadap makhluk hidup
lainnya, yang menjadi haknya, terhadap alam dan lingkungannya dan terhadap
segala yang ada secara harmonis, dia akan menempati martabat yang mulia dalam
pandangan umum. Dia mengisi dirinya dengan sifat-sifat terpuji, dan menjauhkan
dirinya dari sifat-sifat yang tercela, dia menempati kedudukan yang mulia
secara obyektif, walaupun secara materiil keadaannya sangat sederhana.
B. Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui bagaimana
akhlak tasawuf itu dalam perguruan tinggi, tujuan dan manfaat akhlak tasawuf dalam
perguruan tinggi dan bagaimana hubungannya dalam pergaulan perguruan tinggi.
Seberapa penting dalam membina manusia dalam perguruan tinggi untuk menciptakan
akhlak yang baik dalam dirinya karena sangat diperlukan oleh semua mahasiswa
perguruan tinggi agar hidupnya tidak terpengaruh dalam pergaulan yang tidak
sesuai akhlak yang mulia.
BAB II
PERMASALAHAN
Perhatian terhadap pentingnya Akhlak Tasawuf kini muncul
kembali, yaitu di saat manusia di zaman modern ini di hadapkan pada masalah
moral dan akhlak yang cukup serius, Apalagi dalam perguruaan tinggi yang kalau
dibiarkan akan menghancurkan masa depan bangsa yang bersangkutan. Dewasa ini kehidupan manusia di seluruh
dunia sedang dilanda keprihatinan yang luarbiasa akibat proses modernisasi yang
bersifat mengglobal. Proses modernisasi ini adalah dampak dari kemajuan
teknologi komunikasi dan informasi yang akibatnya tidak ada masyarakat yang
bisa melepaskan diri dari pengaruh peradaban global.
Dalam kehidupan sehari-hari tentu banyak panorama-panorama dalam kehidupan
sehari-hari dan yang terpenting adalah bagaimana kita hidup dalam
bermasyarakat, saling menghargai dan saling menghormati di dalam kehidupan
sehari-hari tentunya kita di tuntut untuk bagaimana kita dapat hidup
bersosialisasi. Tentunya di dalamnya itu banyak aturan dan etika yang harus
kita jaga sebab kebebasan kita dibatasi oleh kebebasan orang lain. Seperti
berpakaian, kita tidak boleh berpakaian yang berlebihan, kita tetap menjaga
etika dalam berpakaian, tidak boleh tampil sembrono, tampil yang berlebihan dan
sebagainya. Selain dari pada itu, yang paling penting adalah mengenai akhlak,
bagaimana kita menjaga akhlak dalam kehidupan sehari-hari. Kita harus
mengetahui bagaimana akhlak terhadap Tuhan, terhadap sesama manusia maupun
terhadap makhluk lain. Sehingga kita dapat hidup tenang saling menghargai dan saling menghormati.
Oleh karena itu, ilmu tentang akhlak sangat penting dalam membina manusia
dalam perguruan tinggi untuk menciptakan akhlak yang baik dalam dirinya karena
sangat diperlukan oleh semua mahasiswa perguruan tinggi agar hidupnya tidak
terpengaruh dalam pergaulan yang tidak sesuai akhlak yang mulia.
BAB III
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN PENDIDIKAN
Secara etimologi, pengertian pendidikan yang diberikan oleh ahli. John
Dewey, seperti yang dikutip oleh M.Arifin menyatakan bahwa pendidikan adalah
sebagai suatu proses pembentukan kemampuan dasar yang fundamental baik menyangkut
daya pikir (intelektual) maupun daya perasaan (emosional) menuju
ke arah tabiat manusia dan manusia biasa. Pendidikan
pada dasarnya adalah usaha sadar yang diarahkan untuk mematangkan potensi
fitrah manusia, agar setelah tercapai kematangan itu, ia mampun memerankan diri
sesuai dengan amarah yang disandangnya, serta mampu mempertanggung jawabkan
pelaksanaan kepada Sang Pencipta. Kematangan di sini dimaksudkan sebagai
gambaran dari tingkat perkembangan optimal yang dicapai oleh setiap potensi
fitrah manusia. Dalam Islam pada mulanya pendidikan disebut dengan kata “ta’dib”.
Kata “ta’dib” mengacu kepada pengertian yang lebih tinggi dan
mencakup seluruh unsur-unsur pengetahuan (‘ilm), pengajaran (ta’lim) dan
pengasuhan yang baik (tarbiyah). Akhirnya, dalam perkembangan
kata-kata “ta’dib” sebagai istilah pendidikan hilang dari
peredarannya, sehingga para ahli didik Islam bertemu dengan istilah at
tarbiyah atau tarbiyah, sehingga sering disebut tarbiyah.
Sebenarnya kata ini asal katanya adalah dari “Rabba-Yurobbi-Tarbiyatan” yang
artinya tumbuh dan berkembang. Walaupun
dalam Al-Qur’an tidak disebutkan secara jelas tentang definisi pendidikan,
namun dari beberapa ayat dapat ditemukan indikasi ke arah pendidian,
sebagaimana disebutkan dalam Q.S. 17/Al-Isra : 24 :
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ
الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَياَّنِيْ صَغِيْرًا.
Artinya:
“Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka keduanya,
sebagaimana mereka mendidik aku waktu kecil”. (Q.S. al-Isra : 24)
Berdasarkan ayat tersebut
dapat diambil pengertian bahwa al-Tarbiyah adalah proses pengasuhan pada fase
permulaan pertumbuhan manusia, karena anak sejak lahir didunia dalam keadaan
tidak tahu apa-apa, tetapi ia sudah dibekali ALLAH berupa potensi dasar ysng
perlu dikembangkan. Menurut beberapa ahli mengemukakan pendapatnya
tentang pendidikan yaitu:
1. Menurut Frederic J.
Mc. Donald dalam bukunya Educational
Psychology mengungkapkan
bahwa education in the sense used here, is a process or an activity
which is directed at producting desirable changes in the behaviour of human
beings yaitu Pendidikan
dalam pengertian yang digunakan di sini adalah sebuah proses atau aktivitas
yang menunjukkan pada proses perubahan yang diinginkan di dalam tingkah laku
manusia.
2. Menurut Nelson
B.Henry, education is the process by which those powers (abilities,
capacities) of the man that are susceptible to habituation are perfected by
good habits.[6] Artinya,
pendidikan adalah merupakan suatu proses di mana kemampuan seseorang dapat
terpengaruh oleh kebiasaan yang berupa kebiasaan yang baik.
Dengan demikian dapat
dipahami bahwa pendidikan adalah suatu kegiatan atau usaha yang dilakukan
secara sadar dan disengaja untuk memberikan bimbingan, baik jasmani maupun
rohani, melalui penanaman nilai-nilai Islam, latihan moral, fisik serta
menghasilkan perubahan ke arah positif yang nantinya dapat diaktualisasikan
dalam kehidupan, dengan kebiasaan bertingkah laku, berpikir dan berbudi pekerti
yang luhur menuju terbentuknya manusia yang berakhlak mulia.
B. PENGERTIAN AKHLAK
Pengertian akhlak secara etimologi dapat diartikan sebagai budi pekerti,
watak dan tabiat. Kata akhlak berasal dari bahasa Arab, jamak dari khuluqun (خلق)
yang menurut lughot diartikan sebagai budi pekerti, perangai, tingkah laku atau
tabiat.
Menurut Rahmat Djatnika, bahwa pengertian
akhlak dapat dibedakan menjadi dua macam, di antaranya menurut etimologi kata
akhlak berasal dari bahasa Arab (ا خلا ق) bentuk jamak dari mufrodnya khuluq (خلق), yang
berarti budi pekerti. Sinonimnya adalah etika dan moral. Etika berasal dari
bahasa Latin, etos yang berarti kebiasaan. Moral berasal dari
bahasa Latin juga, mores yang juga berarti kebiasaan. Sedangkan menurut terminolog, kata budi pekerti terdiri dari kata “budi”
dan “pekerti”. Budi adalah yang ada pada manusia, yang berhubungan dengan
kesadaran, yang didorong oleh pemikiran, rasio yang disebut karakter. Pekerti adalah
apa yang terlihat pada manusia, karena didorong oleh perasaan hati yang disebut
dengan behaviour. Jadi, budi pekerti merupakan perpaduan dari
hasil rasio dan rasa yang bermanifestasi pada karsa dan tingkah laku manusia.
Menurut Abuddin Nata, akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan
mendalam dan tanpa pemikiran, namun perbuatan itu telah mendarah daging dan
melekat dalam jiwa, sehingga saat melakukan perbuatan tidak lagi memerlukan
pertimbangan dan pemikiran.
Menurut Elizabeth B. Hurlock, behaviour
which may be called “true morality” not only conforms to social standarts
but also is carried out voluntarily, it comes with the transition from external
to internal authority and consist of conduct regulated from within.
Artinya,
bahwa tingkah laku boleh dikatakan sebagai moralitas yang sebenarnya itu
bukan hanya sesuai dengan standar masyarakat, tetapi juga dilaksanakan dengan
suka rela, tingkah laku it terjadi melalui transisi dari kekuatan yang ada di
luar (diri) dan ke dalam (diri) dan ada ketetapan hati dalam melakukan
(bertindak) yang diatur dalam diri.
Imam Al-Ghazali mengemukakan definisi akhlak
sebagai berikut :
الخلق عبارة عن هيئة فى النفس را سخة عنها تصدر
الافعال بسهولة ويسر من غير حاجة إلى فكر ورويّة عقلا وسرعا.
Bahwa akhlak adalah suatu sifat yang tertanam
dalam jiwa yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah dengan
tidak memerlukan pertimbangan pikiran (terlebih dahulu). Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa hakikat akhlak
menurut al-Ghazali mencakup dua syarat. Pertama, perbuatan itu
harus konstan, yaitu dilakukan berulang kali dalam bentuk yang sama, sehingga
dapat menjadi kebiasaan. Kedua, perbuatan itu harus tumbuh
dengan mudah tanpa pertimbangan dan pemikiran, yakni bukan karena adanya
tekanan, paksaan dari orang lain atau bahkan pengaruh-pengaruh dan bujukan yang
indah dan sebagainya.
Menurutnya juga, bahwa akhlak bukanlah pengetahuan (ma’rifah) tentang
baik dan jahat, maupun kodrat (qudrah) untuk baik dan buruk,
bukan pula pengamalan (fi’l) yang baik dan jelek, melainkan
suatu keadaan jiwa yang mantap (hay’arasikha fi-n-nafs).
Akhlak adalah suatu istilah yang sering digunakan
oleh Al-Ghazali. Jadi, kerap kali kita temukan pernyataan, seperti ‘akhlak
kedermawanan” dan “akhlak-akhlak tercela”. Dapat dipahami bahwa dalam etika
Al-Ghazali, suatu amal lahiriyah tak dapat secara tegas disebut baik dan buruk.
Maka ketulusan seseorang mungkin dipandang sebagai suatu kebaikan, tetapi jual
belinya yang jujur atau tidak. Namun, suatu suatu amal dapat dikatakan suatu
amal shaleh atau amal jahat.
Dengan demikian dapat
dipahami bahwa akhlak adalah suatu sikap atau kehendak manusia disertai dengan
niat yang tentram dalam jiwa yang berlandaskan al-Qur’an dan al-Hadits yang
daripadanya timbul perbuatan-perbuatan atau kebiasaan-kebiasaan secara mudah
tanpa memerlukan pembimbingan terlebih dahulu. Jiwa kehendak jiwa itu
menimbulkan perbuatan-perbuatan dan kebiasaan-kebiasaan yang bagus, maka
disebut dengan akhlak yang terpuji. Begitu pula sebaliknya, jika menimbulkan
perbuatan-perbuatan dan kebiasaan-kebiasaan yang jelek, maka disebut dengan
akhlak yang tercela.[1]
Akhlak juga bisa disebut
kehendak jiwa manusia yang menimbulkan perbuatan dengan yang mudah karena kebiasaan tanpa memerlukan
peryimbangan pikiran terlebih dahulu.[2]
C. PENGERTIAN TASAWUF
Pengertian tasawuf dari segi istilah atau pendapat para ahli amat
bergantung kepada sudut pandang yang digunakan masing-masing. Tasawuf adalah upaya melatih jiwa dengan berbgai kegiatan
yang dapat membebaskan dirinya dari pengaruh kehidupan dunia, sehingga
tercermin akhlak yang mulia dengan Allah. Tasawuf menurut sudut pandang manusia
didefinisikan sebagai upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh
kehidupan dunia dan memusatkan perhatian hanya kepada ALLAH SWT.[3]
D. PENGERTIAN PERGURUAN TINGGI
Pendidikan
tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup
program sarjana, magister, doktor, dan spesialis yang diselenggarakan oleh
perguruan tinggi. Perguruan tinggi adalah satuan pendidikan penyelenggara
pendidikan tinggi. Peserta didik perguruan tinggi disebut mahasiswa, sedangkan
tenaga pendidik perguruan tinggi disebut dosen.
E. PENGERTIAN
PENDIDIKAN AKHLAK
Setelah dijelaskan
secara terpisah mengenai pengertian pendidikan dn pengertian akhlak, maka dapat
disimpulkan bahwa pendidikan akhlak adalah pendidikan mengenai dasar-dasar
akhlak dan keutamaan perangai, tabiat yang harus dimiliki dan dijadikan
kebiasaan oleh anak sejak masa analisa sampai ia menjadi seorang mukallaf,
seseorang yang telah siap mengarungi lautan kehidupan. Ia tumbuh dan berkembang
dengan berpijak pada landasan iman kepada Allah dan terdidik untuk selalu kuat,
ingat bersandar, meminta pertolongan dan berserah diri kepada-Nya, maka ia akan
memiliki potensi dan respon yang instingtif di dalam menerima setiap keutamaan
dan kemuliaan. Disamping terbiasa melakukan akhlak mulia.. Atau suatu kegiatan
yang dilakukan secara sadar dan disengaja untuk memberikan bimbingan, baik
jasmani maupun rohani, melalui penanaman nilai-nilai Islam, latihan moral,
fisik serta menghasilkan perubahan ke arah positif, yang nantinya dapat diaktualisasikan
dalam kehidupan, dengan kebiasaan bertingkah laku, berpikir dan berbudi pekerti
yang luhur menuju terbentuknya manusia yang berakhlak mulia, di mana dapat
menghasilkan perbuatan atau pengalaman dengan mudah tanpa harus direnungkan dan
disengaja atau tanpa adanya pertimbangan dan pemikiran, yakni bukan karena
adanya tekanan, paksaan dari orang lain atau bahkan pengaruh-pengaruh yang
indah dan pebuatan itu harus konstan (stabil) dilakukan berulang kali dalam
bentuk yang sering sehingga dapat menjadi kebiasaan.
F. TUJUAN PENDIDIKAN AKHLAK
Tujuan pokok dari
pendidikan Islam adalah mendidik budi pekerti dan pembentukan jiwa. Pendidikan yang
diberikan kepada anak didik haruslah mengandung pelajaran-pelajaran akhlak.
Setiap pendidik haruslah memikirkan akhlak dan memikirkan akhlak keagamaan
sebelum yang lain-lainnya karena akhlak keagamaan adalah akhlak yang tertinggi,
sedangkan akhlak yang mulia itu adalah tiang dari pendidikan Islam. Dalam tujuan pendidikan akhlak dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu :
1. Tujuan Umum
Menurut Barnawy Umari, bahwa
tujuan pendidikan akhlak secara umum meliputi:
a) Supaya dapat terbiasa melakukan yang baik, indah, mulia, terpuji serta
menghindari yang buruk, jelek, hina dan tercela.
b) Supaya perhubungan kita dengan Allah SWT dan dengan sesama makhluk selalu
terpelihara dengan baik dan harmonis.
Menurut Ali Hasan bahwa tujuan pokok akhlak adalah agar setiap orang
berbudi (berakhlak), bertingkah laku (tabiat) berperangai atau beradat istiadat
yang baik atau yang sesuai dengan ajaran Islam.
2. Tujuan Khusus
Adapun secara spesifik pendidikan akhlak bertujuan :
a) Menumbuhkan pembentukan kebiasaan berakhlak mulia da beradat kebiasaan yang
baik
b) Memantapkan rasa keagamaan pada siswa, membiasakan diri berpegang pada
akhlak mulia dan membenci akhlak yang rendah.
c) Membiasakan siswa besikap rela, optimis, percaya diri, emosi, tahan
menderita dan sabar.
d) Membimbing siswa ke arah dikap yang sehat dan dapat membantu mereka
berinteraksi sosial yang baik, mencintai kebaikan untuk orang lain, suka
menolong, sayang kepada yang lemah, dan menghargai orang lain.
e) Membiasakan siswa bersopan santun dalam berbicara dan bergaul baik di
sekolah maupun di luar sekolah.
f) Selalu tekun beribaah dan mendekatkan diri kepada Allah dan bermuamalah
yang baik.
Adapun menurut Muhammad ‘Athiyyah Al-Abrasyi menjelaskan tujuan dari
pendidikan moral dan akhlak dalam Islam adalah membentuk orang-orang yang
bermoral baik, keras kemauan, sopan dalam bicara dan mulia dalam bertingkah
laku dan perangai, bersifat bijaksana, sempurna, sopan dan beradab, ikhlas,
jujur dan suci. Jiwa dari pendidikan Islam adalah pendidikan moral dan akhlak.
Dijelaskan juga menurut Ahmad Amin, bahwasannya tujuan pendidikan akhlak
(etika) bukan hanya mengetahui pandangan atau teori, bahkan setengah dari
tujuan itu adalah mempengaruhi dan mendorong kehendak kita supaya membentuk
hidup suci dan menghasilkan kebaikan dan kesempurnaan dan memberi faedah kepada
sesama manusia. maka etika itu adalah mendorong kehendak agar berbuat baik,
akan tetapi ia tidak selalu berhasil kalau tidak ditaati oleh kesucian manusia.
G. MANFAAT MEMPELAJARI PENDIDIKAN AKHLAK TASAWUF
Faedah tasawwuf ialah membersihkan hati agar
sampai kepada ma’rifat akan terhadap Allah Ta’ala sebagai ma’rifat yang
sempurna untuk keselamatan di akhirat dan mendapat keridhaan Allah Ta’ala dan
mendapatkan kebahagiaan abadi.[4]
H. PENDIDIKAN AKHLAK TASAWUF DI
PERGURUAN TINGGI
Pendidikan akhlak
tasawuf diperguruan tinggi sangat diperlukan untuk akhlak dalam pendidikan
diperguruan tinggi. Akhlak tasawuf diperguruan tinggi yaitu perilaku yang mengatur
hubungan antara manusia dalam suatu lingkungan dan norma yang mengatur hubungan
manusia dengan Tuhan serta alam semesta. Tujuan akhlak taswuf ialah mendidik budi pekerti dan pembentukan jiwa. Pendidikan yang diberikan kepada anak didik
haruslah mengandung pelajaran-pelajaran akhlak. Setiap pendidik haruslah
memikirkan akhlak dan memikirkan akhlak keagamaan sebelum yang lain-lainnya
karena akhlak keagamaan adalah akhlak yang tertinggi, sedangkan akhlak yang
mulia itu adalah tiang dari pendidikan Islam. Akhlak tasawuf menciptakan manusia sebagai mahluk yang tinggi derajatnya dan punya adap sopan santun, maksudnya sopan santun dalan
pergaulan diperguruan tinggi baik sesama teman maupun terhadap dosen pengajar. Sedangkan
manfa’at akhlak adalah mendapatkan tempat yang baik dimata masyarakat bahkan
tuhan, banyak teman, dan meminimize perbuatan perbuatan yang buruk, akan
terhindar dari hukuman yang sifatnya manusiawi dan sebagi makhluk yang
diciptakan Allah. Demikian juga dengan mengetahui akhlak yang
buruk serta bahaya-bahaya yang akan ditimbulkan darinya, menyebabkan orang
enggan untuk melakukannya dan berusaha menjauhinya.Orang yang demikian pada
akhirnya akan terhindar dari berbagai perbuatan yang dapat membahyakan dirinya.[5]
BAB IV
PENUTUP
SIMPULAN
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan
bahwa Pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar yang
diarahkan untuk mematangkan potensi fitrah manusia, agar setelah tercapai
kematangan itu, ia mampun memerankan diri sesuai dengan amarah yang
disandangnya, serta mampu mempertanggung jawabkan pelaksanaan kepada Sang
Pencipta. Kematangan di sini dimaksudkan sebagai gambaran dari tingkat
perkembangan optimal yang dicapai oleh setiap potensi fitrah manusia. Dalam
Islam pada mulanya pendidikan disebut dengan kata “ta’dib”. Kata “ta’dib” mengacu
kepada pengertian yang lebih tinggi dan mencakup seluruh unsur-unsur
pengetahuan (‘ilm), pengajaran (ta’lim) dan
pengasuhan yang baik (tarbiyah). Akhirnya, dalam perkembangan
kata-kata “ta’dib” sebagai istilah pendidikan hilang dari
peredarannya, sehingga para ahli didik Islam bertemu dengan istilah at
tarbiyah atau tarbiyah, sehingga sering disebut tarbiyah.
Sebenarnya kata ini asal katanya adalah dari “Rabba-Yurobbi-Tarbiyatan” yang
artinya tumbuh dan berkembang. Sedangkan Pengertian akhlak secara etimologi
dapat diartikan sebagai budi pekerti, watak dan tabiat. Kata akhlak
berasal dari bahasa Arab, jamak dari khuluqun (خلق)
yang menurut lughot diartikan sebagai budi pekerti, perangai, tingkah laku atau
tabiat.
Selain membahas tentang pengertian pendidikan
dan akhlak makalah ini juga membahas masalah tasawuf. Tasawuf adalah upaya melatih jiwa dengan
berbgai kegiatan yang dapat membebaskan dirinya dari pengaruh kehidupan dunia,
sehingga tercermin akhlak yang mulia dengan Allah. Sedangkan pendidikan tinggi adalah jenjang pendidikan setelah
pendidikan menengah yang mencakup program sarjana, magister, doktor, dan
spesialis yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Jadi perguruan tinggi adalah satuan
pendidikan penyelenggara pendidikan tinggi. Peserta didik perguruan tinggi
disebut mahasiswa, sedangkan tenaga pendidik perguruan tinggi disebut dosen.
Jadi
dapat disimpulkan bahwa pendidikan akhlak tasawuf diperguruan tinggi adalah perilaku yang
mengatur hubungan antara manusia dalam suatu lingkungan dan norma yang mengatur
hubungan manusia dengan tuhan serta alam semesta. Tujuan akhlak tasawuf ialah mendidik budi pekerti dan pembentukan jiwa. Pendidikan yang diberikan kepada anak didik
haruslah mengandung pelajaran-pelajaran akhlak. Setiap pendidik haruslah
memikirkan akhlak dan memikirkan akhlak keagamaan sebelum yang lain-lainnya
karena akhlak keagamaan adalah akhlak yang tertinggi, sedangkan akhlak yang mulia
itu adalah tiang dari pendidikan Islam. Akhlak tasawuf menciptakan
manusia sebagai mahluk yang tinggi derajatnya dan
punya adap sopan santun, maksudnya sopan santun dalan pergaulan diperguruan
tinggi baik sesama teman maupun terhadap dosen pengajar. Sedangkan manfa’at
akhlak adalah mendapatkan tempat yang baik dimata masyarakat bahkan tuhan,
banyak teman, dan meminimize perbuatan perbuatan yang buruk, akan terhindar
dari hukuman yang sifatnya manusiawi dan sebagi makhluk yang diciptakan Allah.
DAFTAR ISI
Nata, Abdullah , Akhlak Tasawuf,
Jakarta, RAJAWALI PERS, 1996.
Mukhlis dan Badri Rasyidi, Aqidah
Akhlak, Bandung, CV ARMICO, 1994.
Langganan:
Postingan (Atom)