expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Rabu, 28 Mei 2014

senam pramuka


BAIK DAN BURUK


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Baik dan buruk merupakan dua istilah yang banyak digunakan untuk menentukan suatu perbuatan yang dilakukan seseorang. Kita misalnya mengatakan orang itu baik dan orang itu buruk. Masalahnya apakah yang disebut baik dan buruk itu? Dan apa ukuran atau indicator yang dapat digunakan untuk menilai pebuatan itu baik atau buruk? Dan apakah baik dan buruk itu merupakan sesuatu yang mutlak atau relative? Dan bagaimana pandangan islam terhadap baik dan buruk berikut hal-hal yang tekait dengan keduanya itu?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu dicarikan jawabannya sehingga pada saat kita menilai sesuatu itu baik atau buruk memiliki patokan atau indicator yang pasti. Untuk itu pada makalah ini akan dibahas pengertian baik dan buruk, ukuran untuk menilai baik dan buruk, sifat baik dan buruk, serta pandangan islam mengenai baik dan buruk. Pembahasan masalah ini kita masukkan disini karena berkaitan dengan pembahasan tentang akhlak, sehingga dikatakan bahwa ilmu akhlak ini membahas tentang tingkah laku dan perbuatan manusia dan menetapkannya baik atau buruk.
B.     Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui tentang pengertian Baik dan Buruk
2.      Mengetahui tentang ukuran baik dan buruk
3.      Mengetahui sifat yang baik dan buruk menurut ajaran Islam.


BAB II
PERMASALAHAN
Adapun permasalahan yang akan dibahas pada makalah ini yaitu:
A.    Pengertian Baik dan Buruk
B.     Ukuran Baik dan Buruk
C.     Sifat dari baik dan buruk menurut ajaran dalam islam.
















BAB III
PEMBAHASAN
A.    Pengertian baik dan buruk.
Dari segi bahasa, baik adalah terjemahan dari kata khair dalam bahasa Arab, atau good dalam bahasa Inggris. Louis Ma’luf dalam kitabnya, Munjid, mengatakan bahwa yang di sebut baik adalah sesuatu yang telah mencapai kesempurnaan. Sementara itu dalam Webster’s New Twentieth Century Dictonary, dikatakan bahwa yang di sebut baik adalah sesuatu yang menimbulkan rasa keharuan dalam kepuasan, kesenangan, persesuaian dan seterusnya. Yang baik itu juga dapat berarti sesuatu yang sesuai dengan keinginan.
Dari definisi di atas dapat di artikan bahwa yang di sebut baik (kebaikan) adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan yang luhur, bermartabat, menyenangkan dan disukai manusia.[1]
Ada pendapat yang mengatakan bahwa setiap manusia mempunyai kekuatan insting. Hal ini berfungsi untuk dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah, yang berbeda-beda karena pengaruh kondisi dan situasi lingkungan. Dan seandainya dalam satu lingkungan pun belum tentu mempunyai kesamaan insting. Kemudian pada diri manusia juga mempunyai ilham yang dapat mengenal nilai sesuatu itu baik atau buruk.
Pengertian benar (baik) menurut etika (ilmu akhlak) ialah hal-hal yang sesuai atau cocok dengan peraturan-peraturan. Secara objektif “benar” adalah satu, tidak ada dua benar yang bertentangan. Sebaliknya pengertian salah (buruk) menurut etika adalah hal-hal yang tidak sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku. Apabila ada dua hal yang bertentangan, mungkin salah satunya benar atau kedua-duanya salah.[2]
Menurut kami, baik itu adalah sesuatu yang tidak bertentangan dengan agama, peraturan atau norma yang berlaku dalam suatu wilayah. Tetapi buruk justru berlawanan dengan pengetian baik.

B.     Ukuran baik dan buruk
Karena baik dan buruk merupakan keadaan yang melekat pada setiap aktivitas manusia, maka persoalan baik dan  buruk adalah persoalan manusia. Oleh sebab itulah banyak orang tertarik membicarakannya dan berupaya merumuskan pengertian dan indikator yang digunakan. Rumusan itu beragam sehingga muncul beberapa pandangan dalam memberi penilaian terhadap suatu perbuatan. Berikut adalah memperjelas persepsi tentang ukuran yang digunakan untuk menilai suatu perbuatan.
1.      Adat atau kebiasaan.
Setiap kelompok masyarakat memiliki adat kebiasaan yang di warisi dari pedahulunya. Oleh kelompok tersebut, adat digunakan sebagai tolak ukur menentukan baik dan buruknya suatu perbuatan. Suatu perbuatan di nilai baik jika sesuai dengan jiwa adat dan sebaliknya di nilai buruk jika tidak sejalan dengan adat dengan adat setempat. Tentu saja ukuran ini memiliki kelemahan, sebab adat itu sifatnya local dan ini menimbulkan penilaian yang bersifat lokal juga.[3]
Di dalam masyarakat kita jumpai adat-istiadat yang berkenaan dengan cara berpakaian, makan, minum, bercakap-cakap, bertandang dan sebagainya. Orang yang mengikuti cara-cara yang demikian itulah yang di anggap orang yang baik dan orang yang menyalahi nya adalah orang yang buruk.
Kelompok yang menilai baik dan buruk berdasarkan adat-istiadat dalam tinjauan filsafat di kenal dengan istilah aliran sosialisme. Munculnya paham ini bertolak dari anggapan karena masyarakat itu terdiri dari manusia, maka ada yang berpendapat bahwa masyarakatlah yang menentukan baik dan buruknya tindakan manusia yang menjadi anggotanya.[4]
2.      Hedonisme (kebahagiaan/kelezatan)
Sesuai dengan teori filosof, bahwa tujuan akhir dari kehidupan ini adalah untuk menikmati kebahagiaan dan kelezatan, maka semua perbuatan yang mendatangkan kesedihan dan kepahitan di pandang buruk.
Hedonisme di maksud terdiri dari kebahagiaan individual. Disini kebahagiaan pribadi di jadikan sebagai ukuran tanpa mempertimbangkan kepentingan yang lain. Di samping itu, hedonisme mengandung makna kebahagiaan kolektif. Disini kebahagian bersamalah yang menjadi tolak ukur.[5]
Paham hedonisme ini ada yang bercorak individual dan universal. Corak pertama berpendapat bahwa yang di pentingkan terlebih dahulu adalah mencari sebesar-besarnya kelezatan dan kepuasan untuk diri sendiri dan segenap upaya harus diarahkan untuk mencari kebahagiaan dan kelezatan yang bercorak individualistik. Sedangkan corak universalistis hedonisme memandang bahwa perbuatan yang baik itu adalah yang mengutamakan mencari kebahagiaan yang sebesar-besarnya untuk sesama bahkan segala makhluk yang berperasaan.
3.      Utilitarisme (kegunaan)
Secara harfiah, utilis berarti berguna. Menurut paham ini yang baik adalah yang berguna. Paham penentuan baik-buruk berdasarkan nilai guna ini mendapatkan perhatian di masa sekarang. Kegunaan dalam arti bermanfaat yang tidak hanya berhubungan dengan materi melainkan juga dengan yang bersifat rohani bisa di terima. Dan kegunaan bisa juga di terima jika yang digunakan itu hal-hal yang tidak menimbulkan kerugian bagi orang lain. Misalnya Nabi yang menilai orang baik adalah orang yang memberi manfaat pada yang lainnya.[6]
Atau bisa dikatakan kalau aliran ini mengukur suatu perbuatan dengan azas guna. Bila perbuatan itu mengandung manfaat dan guna di anggap baik dan sebaliknya jikatidak ada manfaat dan kegunaannya di pandang buruk.
4.      Vitalisme (wibawa)
Aliran ini berprinsif baik atau buruknya suatu perbuatan tergantung kepada ada tidaknya daya hidup yang membuat pelakunya di segani dan ditakuti atau tergantung kepada daya yang mendukung kelangsungan hidup.[7]
Paham ini pernah dipraktekkan para penguasa di zaman feodalisme terhadap kaum yang lemah dan bodoh. Dengan kekuatan dan kekuasaan yang dimiliki ia mengembangkan pola hidup feodalisme kolonialisme, diktator dan tirank. Kekuatan dan kekuasaan menjadi lambing dan status sosial untuk di hormati. Ucapan, ketetapan dan perbuatan yang dikeluarkannya menjadi pegangan bagi masyarakat. Hal ini bisa berlaku, mengingat orang-orang yang lemah dan bodoh selalu mengharapkan pertolongan dan bantuannya.
Dalam masyarakat yang sudah maju, dimana ilmu pengetahuan dan keterampilan sudah mulai banyak dimiliki oleh masyarakat. Paham vitalisme tidak akan mendapat tempat lagi dan digeser dengan pandangan yang bersifat demokratis.[8]
5.      Idealisme (kemauan)
Suatu perbuatan di nilai baik jika dilakukan menurut ide dan keinginan sendiri, sebaliknya jika dilakukan menurut ide orang lain di pandang tidak baik (buruk).[9]
Dengan demikian, maka menurut aliran ini adalah merupakan faktor terpenting dari wujudnya tindakan-tindakan yang nyata. Oleh karena itu kmauan yang baik adalah menjadi dasar pokok dalam etika idealisme.
6.      Teologisme
Aliran ini berpendapat bahwa yang menjadi ukuran baik dan buruknya perbuatan manusia adalah didasarkan ajaran Tuhan, apakah perbuatan itu diperintahkan atau di larang oleh-Nya. Segala perbuatan yang diperintahkan Tuhan itulah yang baik dan segala perbuatan yang di larang oleh Tuhan itulah perbuatan yang buruk, dimana ajaran-ajaran tersebut sudah dijelaskan dalam kitab suci.[10]

C.     Sifat dari baik dan buruk menurut ajaran dalam islam.
Sifat dari baik dan buruk tetap berguna sesuai dengan zamannya dan ini dapat dimanfaatkan untuk menjabarkan keetentuan-ketentuan baik-buruk yang terdapat dalam ajaran akhlak yang bersumber dari ajaran islam.
Menurut ajaran islam penentuan baik dan buruk harus di dasarkan pada petunjuk al-Qur’an dan al-Hadits.[11]
Sifat-sifat yang baik seperti: sabar, jujur, ramah, murah hati, mengutamakan yang lebih membutuhkan, mencukupkan apa yang ada, berani, pemaaf, lemah lembu, rendah hati dan pemalu. Sedangkan sifat-sifat yang buruk seperti: kikir, sombong dan angkuh, pendusta, dengki, bermuka dua, berburuk sangka, pemalas, gunjing, adu domba, rakus, penghayal, penakut.
Jadi menurut kami, sifat-sifat di atas hanya sebagian contoh dari sifat yang baik ataupun buruk, banyak lagi contoh sifat yang tergolong sifat yang baik seperti ikhlas dan sifat yang buruk seperti bangga menyebut kebaikan yang di perbuat.



















BAB IV
PENUTUP

A.    Simpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa, baik dan buruk itu sangat berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari. Apabila kita melakukan suatu perbuatan yang tidak bertentangan dengan suatu hukum maka bisa di katakan perbuatan itu adalah baik dan sebaliknya jika perbuatan tersebut melanggar suatu hukum (norma yang berlaku) maka itu adalah buruk.
Ada beberapa hal yang bisa dijadikan tolak ukur dalam menentukan baik dan buruk. Hal itu sudah dijelaskan dalam pembahasan ini.

B.     Saran
Bagi pembaca sekalian dapat menjadikan pembahasan dalam makalah yang berjudul “baik dan buruk” ini sebagai tambahan pengetahuan dalam mempelajari akhlak tasawuf.










DAFTAR PUSTAKA


Nata, Abuddin. 2011. Akhlak Tasawuf . Jakarta: Rajawali Pers
Mustofa. 2010. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia
Ritonga, Rahman. 2005. Akhlak Merakit Hubungan Dengan Sesama Manusia. Surabaya: Amalia











[1] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A., Akhlak Tasawuf  (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 104-105
[2] Drs. H. A. Mustofa, Akhlak Tasawuf  (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 53-54
[3] Prof. Dr. H. A. Rahman Ritonga, MA, Akhlak Merakit Hubungan Dengan Sesama Manusia (Surabaya: Amalia, 2005), h. 10
[4] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A., Akhlak Tasawuf  (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 107
[5] Prof. Dr. H. A. Rahman Ritonga, MA, Akhlak Merakit Hubungan Dengan Sesama Manusia (Surabaya: Amalia, 2005), h. 10
[6] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A., Akhlak Tasawuf  (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 109 dan 114-115
[7] Prof. Dr. H. A. Rahman Ritonga, MA, Akhlak Merakit Hubungan Dengan Sesama Manusia (Surabaya: Amalia, 2005), h. 11
[8] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A., Akhlak Tasawuf  (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 115-116
[9] Prof. Dr. H. A. Rahman Ritonga, MA, Akhlak Merakit Hubungan Dengan Sesama Manusia (Surabaya: Amalia, 2005), h.11
[10] Drs. H. A. Mustofa, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 80
[11] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A., Akhlak Tasawuf  (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 119

PENDIDIKAN AKHLAK TASAWUF DIPERGURUAAN TINGGI



BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kedudukan akhlak dalam kehidupan manusia menempati tempat yang penting sekali, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat dan bangsa. Sebab jatuh bangunnya, jaya hancurnya, sejahtera rusaknya suatu bangsa dan masyarakat, tergantung kepada bagaimana akhlaknya. Apabila akhlaknya baik (berakhlak), akan sejahteralah lahir batinnya, akan tetapi apabila akhlaknya buruk (tidak berakhlak), rusaklah lahirnya dan batinnya. Demikan pula pada tingkat perguruan tinggi. Sudah semestinya pendidikan akhlak diintegrasikan dalam berbagai mata kuliah lain yang sesuai. Bahkan dalam sistem penilaian, semestinya ada porsi tersendiri  untuk akhlak ini (tidak hanya quiz, tugas, midterm dan final). Pertanyaan yang muncul mungkin terkait dengan apakah akhlak tersebut bisa diukur atau tidak dan bagaimana cara mengukurnya. Kalau yang ditanyakan adalah pengukuran secara komprehensif, saya pikir memang akan sangat sulit. Tapi bila yang diukur adalah terkait dengan akhlak peserta didik selama di dalam kelas (seperti akhlak terhadap dosen, akhlak terhadap sesama teman, kejujuran dalam mengerjakan tugas kuliah dan saat mengikuti ujian) tentu bukan tidak mungkin dilakukan.
            Seseorang yang berakhlak mulia, selalu melaksanakan kewajiban-kewajibannya, memberikan hak yang harus diberikan kepada yang berhak, dia melakukan kewajibannya terhadap dirinya sendiri, yang menjadi hak dirinya, terhadap Tuhannya, yang menjadi hak Tuhannya, terhadap makhluk yang lain, terhadap sesama manusia, yang menjadi hak manusia lainnya, terhadap makhluk hidup lainnya, yang menjadi haknya, terhadap alam dan lingkungannya dan terhadap segala yang ada secara harmonis, dia akan menempati martabat yang mulia dalam pandangan umum. Dia mengisi dirinya dengan sifat-sifat terpuji, dan menjauhkan dirinya dari sifat-sifat yang tercela, dia menempati kedudukan yang mulia secara obyektif, walaupun secara materiil keadaannya sangat sederhana.


B. Tujuan Penulisan
            Untuk mengetahui bagaimana akhlak tasawuf itu dalam perguruan tinggi, tujuan dan manfaat akhlak tasawuf dalam perguruan tinggi dan bagaimana hubungannya dalam pergaulan perguruan tinggi. Seberapa  penting dalam membina manusia dalam perguruan tinggi untuk menciptakan akhlak yang baik dalam dirinya karena sangat diperlukan oleh semua mahasiswa perguruan tinggi agar hidupnya tidak terpengaruh dalam pergaulan yang tidak sesuai akhlak yang mulia.

                                                                                                                                          
















BAB II
PERMASALAHAN
Perhatian terhadap pentingnya Akhlak Tasawuf kini muncul kembali, yaitu di saat manusia di zaman modern ini di hadapkan pada masalah moral dan akhlak yang cukup serius, Apalagi dalam perguruaan tinggi yang kalau dibiarkan akan menghancurkan masa depan bangsa yang bersangkutan. Dewasa ini kehidupan manusia di seluruh dunia sedang dilanda keprihatinan yang luarbiasa akibat proses modernisasi yang bersifat mengglobal. Proses modernisasi ini adalah dampak dari kemajuan teknologi komunikasi dan informasi yang akibatnya tidak ada masyarakat yang bisa melepaskan diri dari pengaruh peradaban global.
Dalam kehidupan sehari-hari tentu banyak panorama-panorama dalam kehidupan sehari-hari dan yang terpenting adalah bagaimana kita hidup dalam bermasyarakat, saling menghargai dan saling menghormati di dalam kehidupan sehari-hari tentunya kita di tuntut untuk bagaimana kita dapat hidup bersosialisasi. Tentunya di dalamnya itu banyak aturan dan etika yang harus kita jaga sebab kebebasan kita dibatasi oleh kebebasan orang lain. Seperti berpakaian, kita tidak boleh berpakaian yang berlebihan, kita tetap menjaga etika dalam berpakaian, tidak boleh tampil sembrono, tampil yang berlebihan dan sebagainya. Selain dari pada itu, yang paling penting adalah mengenai akhlak, bagaimana kita menjaga akhlak dalam kehidupan sehari-hari. Kita harus mengetahui bagaimana akhlak terhadap Tuhan, terhadap sesama manusia maupun terhadap makhluk lain. Sehingga kita dapat hidup tenang saling menghargai dan saling menghormati.
            Oleh karena itu, ilmu tentang akhlak sangat penting dalam membina manusia dalam perguruan tinggi untuk menciptakan akhlak yang baik dalam dirinya karena sangat diperlukan oleh semua mahasiswa perguruan tinggi agar hidupnya tidak terpengaruh dalam pergaulan yang tidak sesuai akhlak yang mulia.





BAB III
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN PENDIDIKAN
Secara etimologi, pengertian pendidikan yang diberikan oleh ahli. John Dewey, seperti yang dikutip oleh M.Arifin menyatakan bahwa pendidikan adalah sebagai suatu proses pembentukan kemampuan dasar yang fundamental baik menyangkut daya pikir (intelektual) maupun daya perasaan (emosional) menuju ke arah tabiat manusia dan manusia biasa.    Pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar yang diarahkan untuk mematangkan potensi fitrah manusia, agar setelah tercapai kematangan itu, ia mampun memerankan diri sesuai dengan amarah yang disandangnya, serta mampu mempertanggung jawabkan pelaksanaan kepada Sang Pencipta. Kematangan di sini dimaksudkan sebagai gambaran dari tingkat perkembangan optimal yang dicapai oleh setiap potensi fitrah manusia. Dalam Islam pada mulanya pendidikan disebut dengan kata “ta’dib”. Kata “ta’dib” mengacu kepada pengertian yang lebih tinggi dan mencakup seluruh unsur-unsur pengetahuan (‘ilm), pengajaran (ta’lim) dan pengasuhan yang baik (tarbiyah). Akhirnya, dalam perkembangan kata-kata “ta’dib” sebagai istilah pendidikan hilang dari peredarannya, sehingga para ahli didik Islam bertemu dengan istilah at tarbiyah atau tarbiyah, sehingga sering disebut tarbiyah. Sebenarnya kata ini asal katanya adalah dari “Rabba-Yurobbi-Tarbiyatan” yang artinya tumbuh dan berkembang.         Walaupun dalam Al-Qur’an tidak disebutkan secara jelas tentang definisi pendidikan, namun dari beberapa ayat dapat ditemukan indikasi ke arah pendidian, sebagaimana disebutkan dalam Q.S. 17/Al-Isra : 24 :
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَياَّنِيْ صَغِيْرًا.
Artinya:
         “Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana mereka mendidik aku waktu kecil”. (Q.S. al-Isra : 24)
Berdasarkan ayat tersebut dapat diambil pengertian bahwa al-Tarbiyah adalah proses pengasuhan pada fase permulaan pertumbuhan manusia, karena anak sejak lahir didunia dalam keadaan tidak tahu apa-apa, tetapi ia sudah dibekali ALLAH berupa potensi dasar ysng perlu dikembangkan. Menurut beberapa ahli mengemukakan pendapatnya tentang pendidikan yaitu:                                                         
1.      Menurut Frederic J. Mc. Donald dalam bukunya Educational Psychology mengungkapkan bahwa education in the sense used here, is a process or an activity which is directed at producting desirable changes in the behaviour of human beings yaitu Pendidikan dalam pengertian yang digunakan di sini adalah sebuah proses atau aktivitas yang menunjukkan pada proses perubahan yang diinginkan di dalam tingkah laku manusia.
2.      Menurut Nelson B.Henry, education is the process by which those powers (abilities, capacities) of the man that are susceptible to habituation are perfected by good habits.[6] Artinya, pendidikan adalah merupakan suatu proses di mana kemampuan seseorang dapat terpengaruh oleh kebiasaan yang berupa kebiasaan yang baik.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa pendidikan adalah suatu kegiatan atau usaha yang dilakukan secara sadar dan disengaja untuk memberikan bimbingan, baik jasmani maupun rohani, melalui penanaman nilai-nilai Islam, latihan moral, fisik serta menghasilkan perubahan ke arah positif yang nantinya dapat diaktualisasikan dalam kehidupan, dengan kebiasaan bertingkah laku, berpikir dan berbudi pekerti yang luhur menuju terbentuknya manusia yang berakhlak mulia.

B. PENGERTIAN AKHLAK                                                                     
Pengertian akhlak secara etimologi dapat diartikan sebagai budi pekerti, watak dan tabiat. Kata akhlak berasal dari bahasa Arab, jamak dari khuluqun (خلق) yang menurut lughot diartikan sebagai budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat.
Menurut Rahmat Djatnika, bahwa pengertian akhlak dapat dibedakan menjadi dua macam, di antaranya menurut etimologi kata akhlak berasal dari bahasa Arab (ا خلا ق) bentuk jamak dari mufrodnya khuluq (خلق), yang berarti budi pekerti. Sinonimnya adalah etika dan moral. Etika berasal dari bahasa Latin, etos yang berarti kebiasaan. Moral berasal dari bahasa Latin juga, mores yang juga berarti kebiasaan. Sedangkan menurut terminolog, kata budi pekerti terdiri dari kata “budi” dan “pekerti”. Budi adalah yang ada pada manusia, yang berhubungan dengan kesadaran, yang didorong oleh pemikiran, rasio yang disebut karakter. Pekerti adalah apa yang terlihat pada manusia, karena didorong oleh perasaan hati yang disebut dengan behaviour.  Jadi, budi pekerti merupakan perpaduan dari hasil rasio dan rasa yang bermanifestasi pada karsa dan tingkah laku manusia.
Menurut Abuddin Nata, akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mendalam dan tanpa pemikiran, namun perbuatan itu telah mendarah daging dan melekat dalam jiwa, sehingga saat melakukan perbuatan tidak lagi memerlukan pertimbangan dan pemikiran.
Menurut Elizabeth B. Hurlock, behaviour which may be called “true morality” not only conforms to social standarts but also is carried out voluntarily, it comes with the transition from external to internal authority and consist of conduct regulated from within.
 Artinya, bahwa tingkah laku boleh dikatakan sebagai moralitas yang sebenarnya itu bukan hanya sesuai dengan standar masyarakat, tetapi juga dilaksanakan dengan suka rela, tingkah laku it terjadi melalui transisi dari kekuatan yang ada di luar (diri) dan ke dalam (diri) dan ada ketetapan hati dalam melakukan (bertindak) yang diatur dalam diri.
Imam Al-Ghazali mengemukakan definisi akhlak sebagai berikut :
الخلق عبارة عن هيئة فى النفس را سخة عنها تصدر الافعال بسهولة ويسر من غير حاجة إلى فكر ورويّة عقلا وسرعا. 
Bahwa akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah dengan tidak memerlukan pertimbangan pikiran (terlebih dahulu). Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa hakikat akhlak menurut al-Ghazali mencakup dua syarat. Pertama, perbuatan itu harus konstan, yaitu dilakukan berulang kali dalam bentuk yang sama, sehingga dapat menjadi kebiasaan. Kedua, perbuatan itu harus tumbuh dengan mudah tanpa pertimbangan dan pemikiran, yakni bukan karena adanya tekanan, paksaan dari orang lain atau bahkan pengaruh-pengaruh dan bujukan yang indah dan sebagainya.
Menurutnya juga, bahwa akhlak bukanlah pengetahuan (ma’rifah) tentang baik dan jahat, maupun kodrat (qudrah) untuk baik dan buruk, bukan pula pengamalan (fi’l) yang baik dan jelek, melainkan suatu keadaan jiwa yang mantap (hay’arasikha fi-n-nafs).
Akhlak adalah suatu istilah yang sering digunakan oleh Al-Ghazali. Jadi, kerap kali kita temukan pernyataan, seperti ‘akhlak kedermawanan” dan “akhlak-akhlak tercela”. Dapat dipahami bahwa dalam etika Al-Ghazali, suatu amal lahiriyah tak dapat secara tegas disebut baik dan buruk. Maka ketulusan seseorang mungkin dipandang sebagai suatu kebaikan, tetapi jual belinya yang jujur atau tidak. Namun, suatu suatu amal dapat dikatakan suatu amal shaleh atau amal jahat.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa akhlak adalah suatu sikap atau kehendak manusia disertai dengan niat yang tentram dalam jiwa yang berlandaskan al-Qur’an dan al-Hadits yang daripadanya timbul perbuatan-perbuatan atau kebiasaan-kebiasaan secara mudah tanpa memerlukan pembimbingan terlebih dahulu. Jiwa kehendak jiwa itu menimbulkan perbuatan-perbuatan dan kebiasaan-kebiasaan yang bagus, maka disebut dengan akhlak yang terpuji. Begitu pula sebaliknya, jika menimbulkan perbuatan-perbuatan dan kebiasaan-kebiasaan yang jelek, maka disebut dengan akhlak yang tercela.[1]
Akhlak juga bisa disebut kehendak jiwa manusia yang menimbulkan perbuatan dengan  yang mudah karena kebiasaan tanpa memerlukan peryimbangan pikiran terlebih dahulu.[2]

C. PENGERTIAN TASAWUF
Pengertian tasawuf  dari segi istilah atau pendapat para ahli amat bergantung kepada sudut pandang yang digunakan masing-masing. Tasawuf adalah upaya melatih jiwa dengan berbgai kegiatan yang dapat membebaskan dirinya dari pengaruh kehidupan dunia, sehingga tercermin akhlak yang mulia dengan Allah. Tasawuf menurut sudut pandang manusia didefinisikan sebagai upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia dan memusatkan perhatian hanya kepada ALLAH SWT.[3]

D. PENGERTIAN PERGURUAN TINGGI
Pendidikan tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program sarjana, magister, doktor, dan spesialis yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Perguruan tinggi adalah satuan pendidikan penyelenggara pendidikan tinggi. Peserta didik perguruan tinggi disebut mahasiswa, sedangkan tenaga pendidik perguruan tinggi disebut dosen.

E. PENGERTIAN PENDIDIKAN AKHLAK
              Setelah dijelaskan secara terpisah mengenai pengertian pendidikan dn pengertian akhlak, maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan akhlak adalah pendidikan mengenai dasar-dasar akhlak dan keutamaan perangai, tabiat yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan oleh anak sejak masa analisa sampai ia menjadi seorang mukallaf, seseorang yang telah siap mengarungi lautan kehidupan. Ia tumbuh dan berkembang dengan berpijak pada landasan iman kepada Allah dan terdidik untuk selalu kuat, ingat bersandar, meminta pertolongan dan berserah diri kepada-Nya, maka ia akan memiliki potensi dan respon yang instingtif di dalam menerima setiap keutamaan dan kemuliaan. Disamping terbiasa melakukan akhlak mulia.. Atau suatu kegiatan yang dilakukan secara sadar dan disengaja untuk memberikan bimbingan, baik jasmani maupun rohani, melalui penanaman nilai-nilai Islam, latihan moral, fisik serta menghasilkan perubahan ke arah positif, yang nantinya dapat diaktualisasikan dalam kehidupan, dengan kebiasaan bertingkah laku, berpikir dan berbudi pekerti yang luhur menuju terbentuknya manusia yang berakhlak mulia, di mana dapat menghasilkan perbuatan atau pengalaman dengan mudah tanpa harus direnungkan dan disengaja atau tanpa adanya pertimbangan dan pemikiran, yakni bukan karena adanya tekanan, paksaan dari orang lain atau bahkan pengaruh-pengaruh yang indah dan pebuatan itu harus konstan (stabil) dilakukan berulang kali dalam bentuk yang sering sehingga dapat menjadi kebiasaan.

F. TUJUAN PENDIDIKAN AKHLAK
              Tujuan pokok dari pendidikan Islam adalah mendidik budi pekerti dan pembentukan jiwa. Pendidikan yang diberikan kepada anak didik haruslah mengandung pelajaran-pelajaran akhlak. Setiap pendidik haruslah memikirkan akhlak dan memikirkan akhlak keagamaan sebelum yang lain-lainnya karena akhlak keagamaan adalah akhlak yang tertinggi, sedangkan akhlak yang mulia itu adalah tiang dari pendidikan Islam. Dalam tujuan pendidikan akhlak dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu :
1.   Tujuan Umum
     Menurut Barnawy Umari, bahwa tujuan pendidikan akhlak secara umum meliputi:
a)      Supaya dapat terbiasa melakukan yang baik, indah, mulia, terpuji serta menghindari yang buruk, jelek, hina dan tercela.
b)      Supaya perhubungan kita dengan Allah SWT dan dengan sesama makhluk selalu terpelihara dengan baik dan harmonis.
Menurut Ali Hasan bahwa tujuan pokok akhlak adalah agar setiap orang berbudi (berakhlak), bertingkah laku (tabiat) berperangai atau beradat istiadat yang baik atau yang sesuai dengan ajaran Islam.
2. Tujuan Khusus
Adapun secara spesifik pendidikan akhlak bertujuan :
a)      Menumbuhkan pembentukan kebiasaan berakhlak mulia da beradat kebiasaan yang baik
b)      Memantapkan rasa keagamaan pada siswa, membiasakan diri berpegang pada akhlak mulia dan membenci akhlak yang rendah.
c)      Membiasakan siswa besikap rela, optimis, percaya diri, emosi, tahan menderita dan sabar.
d)     Membimbing siswa ke arah dikap yang sehat dan dapat membantu mereka berinteraksi sosial yang baik, mencintai kebaikan untuk orang lain, suka menolong, sayang kepada yang lemah, dan menghargai orang lain.
e)      Membiasakan siswa bersopan santun dalam berbicara dan bergaul baik di sekolah maupun di luar sekolah.
f)       Selalu tekun beribaah dan mendekatkan diri kepada Allah dan bermuamalah yang baik.
Adapun menurut Muhammad ‘Athiyyah Al-Abrasyi menjelaskan tujuan dari pendidikan moral dan akhlak dalam Islam adalah membentuk orang-orang yang bermoral baik, keras kemauan, sopan dalam bicara dan mulia dalam bertingkah laku dan perangai, bersifat bijaksana, sempurna, sopan dan beradab, ikhlas, jujur dan suci. Jiwa dari pendidikan Islam adalah pendidikan moral dan akhlak.
Dijelaskan juga menurut Ahmad Amin, bahwasannya tujuan pendidikan akhlak (etika) bukan hanya mengetahui pandangan atau teori, bahkan setengah dari tujuan itu adalah mempengaruhi dan mendorong kehendak kita supaya membentuk hidup suci dan menghasilkan kebaikan dan kesempurnaan dan memberi faedah kepada sesama manusia. maka etika itu adalah mendorong kehendak agar berbuat baik, akan tetapi ia tidak selalu berhasil kalau tidak ditaati oleh kesucian manusia.

G. MANFAAT MEMPELAJARI PENDIDIKAN AKHLAK TASAWUF
Faedah tasawwuf ialah membersihkan hati agar sampai kepada ma’rifat akan terhadap Allah Ta’ala sebagai ma’rifat yang sempurna untuk keselamatan di akhirat dan mendapat keridhaan Allah Ta’ala dan mendapatkan kebahagiaan abadi.[4]

H. PENDIDIKAN AKHLAK TASAWUF DI PERGURUAN TINGGI
              Pendidikan akhlak tasawuf diperguruan tinggi sangat diperlukan untuk akhlak dalam pendidikan diperguruan tinggi. Akhlak tasawuf diperguruan tinggi yaitu perilaku yang mengatur hubungan antara manusia dalam suatu lingkungan dan norma yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan serta alam semesta. Tujuan akhlak taswuf ialah mendidik budi pekerti dan pembentukan jiwa. Pendidikan yang diberikan kepada anak didik haruslah mengandung pelajaran-pelajaran akhlak. Setiap pendidik haruslah memikirkan akhlak dan memikirkan akhlak keagamaan sebelum yang lain-lainnya karena akhlak keagamaan adalah akhlak yang tertinggi, sedangkan akhlak yang mulia itu adalah tiang dari pendidikan Islam. Akhlak tasawuf menciptakan manusia sebagai mahluk yang tinggi derajatnya dan punya adap sopan santun, maksudnya sopan santun dalan pergaulan diperguruan tinggi baik sesama teman maupun terhadap dosen pengajar. Sedangkan manfa’at akhlak adalah mendapatkan tempat yang baik dimata masyarakat bahkan tuhan, banyak teman, dan meminimize perbuatan perbuatan yang buruk, akan terhindar dari hukuman yang sifatnya manusiawi dan sebagi makhluk yang diciptakan Allah. Demikian juga dengan mengetahui akhlak yang buruk serta bahaya-bahaya yang akan ditimbulkan darinya, menyebabkan orang enggan untuk melakukannya dan berusaha menjauhinya.Orang yang demikian pada akhirnya akan terhindar dari berbagai perbuatan yang dapat membahyakan dirinya.[5]















BAB IV
PENUTUP
SIMPULAN
     Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa Pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar yang diarahkan untuk mematangkan potensi fitrah manusia, agar setelah tercapai kematangan itu, ia mampun memerankan diri sesuai dengan amarah yang disandangnya, serta mampu mempertanggung jawabkan pelaksanaan kepada Sang Pencipta. Kematangan di sini dimaksudkan sebagai gambaran dari tingkat perkembangan optimal yang dicapai oleh setiap potensi fitrah manusia. Dalam Islam pada mulanya pendidikan disebut dengan kata “ta’dib”. Kata “ta’dib” mengacu kepada pengertian yang lebih tinggi dan mencakup seluruh unsur-unsur pengetahuan (‘ilm), pengajaran (ta’lim) dan pengasuhan yang baik (tarbiyah). Akhirnya, dalam perkembangan kata-kata “ta’dib” sebagai istilah pendidikan hilang dari peredarannya, sehingga para ahli didik Islam bertemu dengan istilah at tarbiyah atau tarbiyah, sehingga sering disebut tarbiyah. Sebenarnya kata ini asal katanya adalah dari “Rabba-Yurobbi-Tarbiyatan” yang artinya tumbuh dan berkembang. Sedangkan Pengertian akhlak secara etimologi dapat diartikan sebagai budi pekerti, watak dan tabiat. Kata akhlak berasal dari bahasa Arab, jamak dari khuluqun (خلق) yang menurut lughot diartikan sebagai budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat.
Selain membahas tentang pengertian pendidikan dan akhlak makalah ini juga membahas masalah tasawuf. Tasawuf adalah upaya melatih jiwa dengan berbgai kegiatan yang dapat membebaskan dirinya dari pengaruh kehidupan dunia, sehingga tercermin akhlak yang mulia dengan Allah. Sedangkan pendidikan tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program sarjana, magister, doktor, dan spesialis yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Jadi perguruan tinggi adalah satuan pendidikan penyelenggara pendidikan tinggi. Peserta didik perguruan tinggi disebut mahasiswa, sedangkan tenaga pendidik perguruan tinggi disebut dosen.
              Jadi dapat disimpulkan bahwa pendidikan akhlak tasawuf diperguruan tinggi adalah perilaku yang mengatur hubungan antara manusia dalam suatu lingkungan dan norma yang mengatur hubungan manusia dengan tuhan serta alam semesta. Tujuan akhlak tasawuf ialah mendidik budi pekerti dan pembentukan jiwa. Pendidikan yang diberikan kepada anak didik haruslah mengandung pelajaran-pelajaran akhlak. Setiap pendidik haruslah memikirkan akhlak dan memikirkan akhlak keagamaan sebelum yang lain-lainnya karena akhlak keagamaan adalah akhlak yang tertinggi, sedangkan akhlak yang mulia itu adalah tiang dari pendidikan Islam. Akhlak tasawuf menciptakan manusia sebagai mahluk yang tinggi derajatnya dan punya adap sopan santun, maksudnya sopan santun dalan pergaulan diperguruan tinggi baik sesama teman maupun terhadap dosen pengajar. Sedangkan manfa’at akhlak adalah mendapatkan tempat yang baik dimata masyarakat bahkan tuhan, banyak teman, dan meminimize perbuatan perbuatan yang buruk, akan terhindar dari hukuman yang sifatnya manusiawi dan sebagi makhluk yang diciptakan Allah.













DAFTAR ISI

Nata, Abdullah , Akhlak Tasawuf, Jakarta, RAJAWALI PERS, 1996.
Mukhlis dan Badri Rasyidi, Aqidah Akhlak, Bandung, CV ARMICO, 1994.





[2] Mukhlis dan Badri Rasyidi, Aqidah Akhlak,  (Bandung : CV ARMICO, 1994) h.35
[3] Prof. Dr. H. Abdullah Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta :RAJAWALI PERS, 1996) h. 179-180.