BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Baik dan buruk merupakan dua istilah
yang banyak digunakan untuk menentukan suatu perbuatan yang dilakukan
seseorang. Kita misalnya mengatakan orang itu baik dan orang itu buruk. Masalahnya
apakah yang disebut baik dan buruk itu? Dan apa ukuran atau indicator yang
dapat digunakan untuk menilai pebuatan itu baik atau buruk? Dan apakah baik dan
buruk itu merupakan sesuatu yang mutlak atau relative? Dan bagaimana pandangan
islam terhadap baik dan buruk berikut hal-hal yang tekait dengan keduanya itu?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu
dicarikan jawabannya sehingga pada saat kita menilai sesuatu itu baik atau
buruk memiliki patokan atau indicator yang pasti. Untuk itu pada makalah ini
akan dibahas pengertian baik dan buruk, ukuran untuk menilai baik dan buruk,
sifat baik dan buruk, serta pandangan islam mengenai baik dan buruk. Pembahasan
masalah ini kita masukkan disini karena berkaitan dengan pembahasan tentang
akhlak, sehingga dikatakan bahwa ilmu akhlak ini membahas tentang tingkah laku
dan perbuatan manusia dan menetapkannya baik atau buruk.
B.
Tujuan
Penulisan
1.
Mengetahui
tentang pengertian Baik dan Buruk
2.
Mengetahui
tentang ukuran baik dan buruk
3.
Mengetahui
sifat yang baik dan buruk menurut ajaran Islam.
BAB II
PERMASALAHAN
Adapun permasalahan yang akan dibahas pada makalah ini yaitu:
A.
Pengertian Baik
dan Buruk
B.
Ukuran Baik dan
Buruk
C.
Sifat dari baik
dan buruk menurut ajaran dalam islam.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Pengertian baik
dan buruk.
Dari segi bahasa, baik adalah terjemahan dari kata khair dalam
bahasa Arab, atau good dalam bahasa Inggris. Louis Ma’luf dalam
kitabnya, Munjid, mengatakan bahwa yang di sebut baik adalah sesuatu
yang telah mencapai kesempurnaan. Sementara itu dalam Webster’s New
Twentieth Century Dictonary, dikatakan bahwa yang di sebut baik adalah
sesuatu yang menimbulkan rasa keharuan dalam kepuasan, kesenangan, persesuaian
dan seterusnya. Yang baik itu juga dapat berarti sesuatu yang sesuai dengan
keinginan.
Dari definisi di atas dapat di artikan bahwa yang di sebut baik
(kebaikan) adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan yang luhur,
bermartabat, menyenangkan dan disukai manusia.[1]
Ada pendapat yang mengatakan bahwa setiap manusia mempunyai
kekuatan insting. Hal ini berfungsi untuk dapat membedakan mana yang benar dan
mana yang salah, yang berbeda-beda karena pengaruh kondisi dan situasi
lingkungan. Dan seandainya dalam satu lingkungan pun belum tentu mempunyai
kesamaan insting. Kemudian pada diri manusia juga mempunyai ilham yang dapat
mengenal nilai sesuatu itu baik atau buruk.
Pengertian benar (baik) menurut etika (ilmu akhlak) ialah hal-hal
yang sesuai atau cocok dengan peraturan-peraturan. Secara objektif “benar”
adalah satu, tidak ada dua benar yang bertentangan. Sebaliknya pengertian salah
(buruk) menurut etika adalah hal-hal yang tidak sesuai dengan
peraturan-peraturan yang berlaku. Apabila ada dua hal yang bertentangan,
mungkin salah satunya benar atau kedua-duanya salah.[2]
Menurut kami, baik itu adalah sesuatu yang tidak bertentangan
dengan agama, peraturan atau norma yang berlaku dalam suatu wilayah. Tetapi
buruk justru berlawanan dengan pengetian baik.
B.
Ukuran baik dan
buruk
Karena baik dan buruk merupakan keadaan yang melekat pada setiap
aktivitas manusia, maka persoalan baik dan
buruk adalah persoalan manusia. Oleh sebab itulah banyak orang tertarik
membicarakannya dan berupaya merumuskan pengertian dan indikator yang
digunakan. Rumusan itu beragam sehingga muncul beberapa pandangan dalam memberi
penilaian terhadap suatu perbuatan. Berikut adalah memperjelas persepsi tentang
ukuran yang digunakan untuk menilai suatu perbuatan.
1.
Adat atau kebiasaan.
Setiap kelompok masyarakat memiliki adat kebiasaan yang di warisi
dari pedahulunya. Oleh kelompok tersebut, adat digunakan sebagai tolak ukur
menentukan baik dan buruknya suatu perbuatan. Suatu perbuatan di nilai baik
jika sesuai dengan jiwa adat dan sebaliknya di nilai buruk jika tidak sejalan
dengan adat dengan adat setempat. Tentu saja ukuran ini memiliki kelemahan,
sebab adat itu sifatnya local dan ini menimbulkan penilaian yang bersifat lokal
juga.[3]
Di dalam masyarakat kita jumpai adat-istiadat yang berkenaan dengan
cara berpakaian, makan, minum, bercakap-cakap, bertandang dan sebagainya. Orang
yang mengikuti cara-cara yang demikian itulah yang di anggap orang yang baik
dan orang yang menyalahi nya adalah orang yang buruk.
Kelompok yang menilai baik dan buruk berdasarkan adat-istiadat
dalam tinjauan filsafat di kenal dengan istilah aliran sosialisme. Munculnya
paham ini bertolak dari anggapan karena masyarakat itu terdiri dari manusia,
maka ada yang berpendapat bahwa masyarakatlah yang menentukan baik dan buruknya
tindakan manusia yang menjadi anggotanya.[4]
2.
Hedonisme
(kebahagiaan/kelezatan)
Sesuai dengan teori filosof, bahwa tujuan akhir dari kehidupan ini
adalah untuk menikmati kebahagiaan dan kelezatan, maka semua perbuatan yang
mendatangkan kesedihan dan kepahitan di pandang buruk.
Hedonisme di maksud terdiri dari kebahagiaan individual. Disini
kebahagiaan pribadi di jadikan sebagai ukuran tanpa mempertimbangkan
kepentingan yang lain. Di samping itu, hedonisme mengandung makna kebahagiaan
kolektif. Disini kebahagian bersamalah yang menjadi tolak ukur.[5]
Paham hedonisme ini ada yang bercorak individual dan universal.
Corak pertama berpendapat bahwa yang di pentingkan terlebih dahulu adalah
mencari sebesar-besarnya kelezatan dan kepuasan untuk diri sendiri dan segenap
upaya harus diarahkan untuk mencari kebahagiaan dan kelezatan yang bercorak
individualistik. Sedangkan corak universalistis hedonisme memandang bahwa
perbuatan yang baik itu adalah yang mengutamakan mencari kebahagiaan yang
sebesar-besarnya untuk sesama bahkan segala makhluk yang berperasaan.
3.
Utilitarisme
(kegunaan)
Secara harfiah, utilis berarti berguna. Menurut paham ini yang baik
adalah yang berguna. Paham penentuan baik-buruk berdasarkan nilai guna ini
mendapatkan perhatian di masa sekarang. Kegunaan dalam arti bermanfaat yang
tidak hanya berhubungan dengan materi melainkan juga dengan yang bersifat
rohani bisa di terima. Dan kegunaan bisa juga di terima jika yang digunakan itu
hal-hal yang tidak menimbulkan kerugian bagi orang lain. Misalnya Nabi yang
menilai orang baik adalah orang yang memberi manfaat pada yang lainnya.[6]
Atau bisa dikatakan kalau aliran ini mengukur suatu perbuatan
dengan azas guna. Bila perbuatan itu mengandung manfaat dan guna di anggap baik
dan sebaliknya jikatidak ada manfaat dan kegunaannya di pandang buruk.
4.
Vitalisme
(wibawa)
Aliran ini berprinsif baik atau buruknya suatu perbuatan tergantung
kepada ada tidaknya daya hidup yang membuat pelakunya di segani dan ditakuti
atau tergantung kepada daya yang mendukung kelangsungan hidup.[7]
Paham ini pernah dipraktekkan para penguasa di zaman feodalisme
terhadap kaum yang lemah dan bodoh. Dengan kekuatan dan kekuasaan yang dimiliki
ia mengembangkan pola hidup feodalisme kolonialisme, diktator dan tirank.
Kekuatan dan kekuasaan menjadi lambing dan status sosial untuk di hormati.
Ucapan, ketetapan dan perbuatan yang dikeluarkannya menjadi pegangan bagi
masyarakat. Hal ini bisa berlaku, mengingat orang-orang yang lemah dan bodoh
selalu mengharapkan pertolongan dan bantuannya.
Dalam masyarakat yang sudah maju, dimana ilmu pengetahuan dan
keterampilan sudah mulai banyak dimiliki oleh masyarakat. Paham vitalisme tidak
akan mendapat tempat lagi dan digeser dengan pandangan yang bersifat
demokratis.[8]
5.
Idealisme
(kemauan)
Suatu perbuatan di nilai baik jika dilakukan menurut ide dan
keinginan sendiri, sebaliknya jika dilakukan menurut ide orang lain di pandang
tidak baik (buruk).[9]
Dengan demikian, maka menurut aliran ini adalah merupakan faktor
terpenting dari wujudnya tindakan-tindakan yang nyata. Oleh karena itu kmauan
yang baik adalah menjadi dasar pokok dalam etika idealisme.
6.
Teologisme
Aliran ini berpendapat bahwa yang menjadi ukuran baik dan buruknya
perbuatan manusia adalah didasarkan ajaran Tuhan, apakah perbuatan itu
diperintahkan atau di larang oleh-Nya. Segala perbuatan yang diperintahkan
Tuhan itulah yang baik dan segala perbuatan yang di larang oleh Tuhan itulah
perbuatan yang buruk, dimana ajaran-ajaran tersebut sudah dijelaskan dalam
kitab suci.[10]
C.
Sifat dari baik
dan buruk menurut ajaran dalam islam.
Sifat dari baik dan buruk tetap
berguna sesuai dengan zamannya dan ini dapat dimanfaatkan untuk menjabarkan
keetentuan-ketentuan baik-buruk yang terdapat dalam ajaran akhlak yang
bersumber dari ajaran islam.
Menurut ajaran islam penentuan baik
dan buruk harus di dasarkan pada petunjuk al-Qur’an dan al-Hadits.[11]
Sifat-sifat yang baik seperti:
sabar, jujur, ramah, murah hati, mengutamakan yang lebih membutuhkan,
mencukupkan apa yang ada, berani, pemaaf, lemah lembu, rendah hati dan pemalu.
Sedangkan sifat-sifat yang buruk seperti: kikir, sombong dan angkuh, pendusta,
dengki, bermuka dua, berburuk sangka, pemalas, gunjing, adu domba, rakus,
penghayal, penakut.
Jadi menurut kami, sifat-sifat di
atas hanya sebagian contoh dari sifat yang baik ataupun buruk, banyak lagi
contoh sifat yang tergolong sifat yang baik seperti ikhlas dan sifat yang buruk
seperti bangga menyebut kebaikan yang di perbuat.
BAB IV
PENUTUP
A.
Simpulan
Dari pembahasan di atas dapat
disimpulkan bahwa, baik dan buruk itu sangat berpengaruh dalam kehidupan
sehari-hari. Apabila kita melakukan suatu perbuatan yang tidak bertentangan
dengan suatu hukum maka bisa di katakan perbuatan itu adalah baik dan
sebaliknya jika perbuatan tersebut melanggar suatu hukum (norma yang berlaku)
maka itu adalah buruk.
Ada beberapa hal yang bisa dijadikan
tolak ukur dalam menentukan baik dan buruk. Hal itu sudah dijelaskan dalam
pembahasan ini.
B.
Saran
Bagi pembaca sekalian dapat menjadikan pembahasan
dalam makalah yang berjudul “baik dan buruk” ini sebagai tambahan pengetahuan
dalam mempelajari akhlak tasawuf.
DAFTAR
PUSTAKA
Nata, Abuddin. 2011. Akhlak Tasawuf . Jakarta: Rajawali Pers
Mustofa. 2010. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia
Ritonga,
Rahman. 2005. Akhlak Merakit Hubungan Dengan Sesama Manusia. Surabaya:
Amalia
[1] Prof. Dr. H.
Abuddin Nata, M.A., Akhlak Tasawuf
(Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 104-105
[2] Drs. H. A.
Mustofa, Akhlak Tasawuf (Bandung:
Pustaka Setia, 2010), h. 53-54
[3] Prof. Dr. H.
A. Rahman Ritonga, MA, Akhlak Merakit Hubungan Dengan Sesama Manusia
(Surabaya: Amalia, 2005), h. 10
[4]
Prof. Dr. H.
Abuddin Nata, M.A., Akhlak Tasawuf
(Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 107
[5] Prof. Dr. H.
A. Rahman Ritonga, MA, Akhlak Merakit Hubungan Dengan
Sesama Manusia (Surabaya: Amalia, 2005), h. 10
[6]
Prof. Dr. H.
Abuddin Nata, M.A., Akhlak Tasawuf
(Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 109 dan 114-115
[7]
Prof. Dr. H. A.
Rahman Ritonga, MA, Akhlak Merakit Hubungan Dengan Sesama Manusia
(Surabaya: Amalia, 2005), h. 11
[8]
Prof. Dr. H.
Abuddin Nata, M.A., Akhlak Tasawuf
(Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 115-116
[9]
Prof. Dr. H. A.
Rahman Ritonga, MA, Akhlak Merakit Hubungan Dengan Sesama Manusia
(Surabaya: Amalia, 2005), h.11
[10]
Drs. H. A.
Mustofa, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 80
[11]
Prof. Dr. H.
Abuddin Nata, M.A., Akhlak Tasawuf
(Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 119
Tidak ada komentar:
Posting Komentar