expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Senin, 26 Mei 2014

PERKEMBANGAN JIWA AGAMA PADA MASA ANAK-ANAK



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Sebuah kata bijak menyebutkan bahwa masa sekarang di pengaruhi oleh masa yang terdahulu, begitu juga dengan sifat keberagamaan pada manusia, bahwasanya tingkat kesadaran agama pada tiap manusia sangat di pengaruhi pada masa kecilnya.
Masa kanak-kanak adalah masa dimana serang individu mulai dapat berinteraksi dengan individu yang lainya, pada masa inilah sebenarnya masa emas dimana seseorang di perkenalkan dengan agama, karena di masa ini anak yang secara pikiran belum terlalu kritis dalam arti setiap apa yang di berikan oleh orang tuanya akan di terimanaya.
Dalam masa perkembangan keagamanya seorang individu, terdapat faktor faktor yang sangat mempengaruhi keagamaanya, faktor itu dapat berasal dari dalam dirinya atau bersal dari faktor luar. Dalam makalah kali ini penulis akan berusaha menjelaskan proses perkembangan jiwa agama pada anak.
Manusia di lahirkan dalam keadaan lemah jasmani maupun rohani,sejalan dengan bertambahnya umur maka manusia mulai menjalani perubahan pada dirinya baik dari unsur jasmani maupun rohani.
B.       Rumusan Masalah
Adapun  rumusan masalah yang akan di bahas di dalam makalah ini ialah:
A.    Bagaimana Timbulnya Jiwa Keagamaan pada Anak?
B.     Bagaimana Perkembangan Agama pada Anak?
C.     Apa saja Faktor Pembentuk Jiwa Keagamaan pada Anak?
D.    Apa saja sifat-sifat Agama pada Anak-anak ?
E.     Bagaimana Pendekatan Pembinaan Agama pada anak?

C.      Tujuan Penulisan
Makalah ini di susun selain untuk memenuhi tugas dalam mata kuliah Psikologi Agama, juga untuk mengetahui perkembangan Jiwa Agama pada Anak.



















BAB II
PEMBAHASAN
A.      Timbulnya jiwa keagamaan pada anak
Manusia dilahirkan dalam keadaan lemah, fisik maupun psikis. Walaupun dalam keadaan yang demikian ia telah memiliki kemampuan bawaan yang bersifat laten. Potensi bawaan ini memerlukan pengembangan melalui bimbingan dan pemeliharaan yang mantap lebih-lebih pada usia dini.
Sesuai dengan prinsip pertumbuhan maka seorang anak menjadi dewasa memerlukan bimbingan sesuai dengan prinsip yang dimilikinya, yaitu:
1.    Prinsip biologis
Secara fisik anak yang baru dilahirkan dalam keadaan lemah. Dalam gejala gerak dan tindakan tanduknya ia selalu memerlukan bantuan dari orang-orang dewasa disekelilingnya. Dengan kata lain, ia belum dapat berdirisendiri karena manusia bukanlah merupakan makhluk instinktif. Keadaan tubuhnya belum tumbuh secara sempurna untuk difungsikan secara maksimal.
2.    Prinsip tanpa daya
Sejalan dengan belum sempurnanya pertumbuhan fisik dan psikisnya maka anak yang baru dilahirkan hingga menginjak usia dewasa selalu mengharapkan bantuan dari orang tuanya. Ia sama sekali tidak berdaya untuk mengurus dirinya sendiri.
3.    Prinsif eksplorasi
Kemantapan dan kesempurnaan perkembangan potensi manusia yang dibawanya sejak lahir baik jasmani maupun rohani memerlukan pengembangan melalui pemeliharaan dan latihan. Jasmaninya baru akan berfungsi secara sempurna jika dipelihara dan dilatih. Akal dan fungsi mental lainnya pun baru akan menjadi baik daqn berfungsi kematangan dan pemeliharaan serta bimbingan dapat diarahkan kepada pengeksplorasian perkembangannya.[1]
Kesemuanya itu tidak dapat dipenuhi secara sekaligus melainkan melalui pertahapan. Demikian juga perkembangan agama pada anak.
Menurut beberapa ahli anak dilahirkan bukanlah sebagai makhluk yang religius. Anak yang baru dilahirkan lebih mirip binatang dan malahan mereka mengatakan anak seekor kera lebih bersifat kemanusiaan daripada bayi manusia itu sendiri. Selain itu ada pula yang berpendapat sebaliknya bahwa anak sejak dilahirkan telah membawa fitrah keagamaan. Fitrah itu baru berfungsi dikemudian hari melalui proses bimbingan dan latihan setelah berada pada tahap kematangan. Ada beberapa teori mengenai pertumbuhan agama pada anak antara lain:
1.    Rasa ketergantungan (Sense of Depende)
Teori ini dikemukakan oleh Thomas melalui teori Four Wishes. Menurutnya, manusia dilahirkan ke dunia ini memiliki empat keinginan, yaitu:
a)        Keinginan untuk perlindungan (security)
b)        Keinginan akan pengalaman baru (new experience)
c)        Keinginan untuk mendapat tanggapan (response)
d)       Keinginan untuk dikenal (recognation)
Berdasarkan kenyataan dan kerjasama dari keempat keinginan itu, maka bayi sejak dilahirkan hidup dalam ketergantungan. Melalui pengalaman-pengalaman yang diterimanya dari lingkungan itu kemudian terbentuklah rasa keagamaan pada diri anak.
2.    Instink keagamaan
Menurut Woodworth, bayi yang dilahirkan sudah memiliki beberapa instink diantaranya instink keagamaan. Misalnya instink social pada anak sebagai potensi bawaannya sebagai makhluk homo socius, baru akanberfungsi setelah anak dapat bergaul dan berkemampuan untuk berkomunikasi. Jadi instink social itu tergantung dari kematangan fungsi lainnya. Demikian pula instink keagamaan.

B.   Perkembangan Agama pada Anak
Melalui penelitian Ernest Harms perkembangan agama anak-anak itu melalui  mengatakan bahwa perkembangan agama pada anak-anak itu melalui tiga tingkatan, yaitu:
1.        The Fairy Tale Stage (tingkat dongeng)
Tingkatan ini dimulai pada anak berusia 3-6 tahun. Pada tingkatan ini konsep mengenai Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi. Pada tingkat perkembangan ini anak menghayati konsep ke-Tuhanan sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya. Kehidupan masa ini masih banyak dipengaruhi kehidupan fantasi hingga dalam menanggapi agama pun anak masih menggunakan konsep fantastis yang diliputi oleh dongeng-dongeng yang kurang masuk akal.
2.        The Ralistic Stage (tingkat kenyataan)
Tingkat ini dimulai sejak anak masuk Sekolah Dasar. Pada masa ini, ide ketuhanan anak sudah mencerminkan konsep-konsep yang berdasarkan kepada kenyataan (realis). Konsep ini timbul melalui lembaga-lembaga keagamaan dan pengajaran agama dari orang dewasa lainnya. Pada masa ini ide keagamaan pada anak didasarkan atas dorongan emosional, hingga mereka dapat melahirkan konsep Tuhan yang formalis. Berdasarkan hal itu maka pada masa ini anak tertarik dan senang pada lembaga keagamaan yang mereka lihat dikelola oleh orang dewasa dalam lingkungan mereka.
3.        The Ralistic Stage (tingkat kenyataan)
Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang paling tinggi sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang individualistis ini terbagi atas tiga golongan, yaitu:
a)        Konsep ketuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi. Hal tersebut disebabkan oleh pengaruh luar.
b)        Konsep ketuhanan yang lebih murni yang dinyatakan dalam pandangan yang bersifat personal (perorangan).
c)        Konsep ketuhanan yang bersifat humanistik. Agama telah menjadi etos humanis pada diri mereka dalam menghayati ajaran agama. Perubahan ini setiap tingkatan dipengaruhi oleh factor entern yaitu perkembangan usia dan factor ekstern berupa pengaruh luar yang dialaminya.[2]

C.      Faktor Pembentuk Jiwa Keagamaan pada Anak
Adapun faktor yang membentuk anak mulai mengenal dan mendalami agama tak terlepas dari faktor-faktor berikut yaitu :
a.         Faktor intern (bawaan)
Di masyarakat yang masih primitif muncul kepercayaan terhadap roh-roh gaib yang dapat memberikan kebaikan atau bahkan malapetaka. Agar roh-roh itu tidak berperilaku jahat, maka mereka berusaha untuk mendekatinya melalui saji-sajian (bahasa sunda = sasajen ) yang di persembahkan kepada roh roh tersebut. Bahkan di kalangan modern pun masih ada yang mempunyai kepercayaan kepad hal-hal yang sifatnya tahayul tersebut. Kenyataan di atas membuktikan bahwa manusia itu memiliki fitrah untuk mempercayai suatu zat yang mempunyai kekuatan baik memberikan sesuatu yang bermanfaat maupun yang madharat.
Dalam perkembangannya, fitrah beragama ini ada yang berjalan secara alamiah (seperti contoh-contoh diatas) dan ada juga yang mendapatkan bimbingan dari para rasul Allah SWT.
b.        Faktor lingkungan (external)
1.         Lingkungan keluarga
Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi anak oleh karena itu kedudukan keluarga dalam pengembangan kepribadian anak sangatlah dominan.
Menurut Hurlock (1959 :434) keluarga merupakan “training centre” bagi penanaman nilai-nilai.pengembangan fitrah atau jiwa beragama anak, seyogyanya bersamaan dengan perkembangan kepribadianya, yaitu sejak lahir bahkan lebih dari itu sejak dalam kandungan. Pandangan ini ini di dasarkan pengamatan para ahli jiwa terhadap orang yang mengalami gangguan jiwa; ternyata mereka itu di pengaruhi oleh keadaan emosi atau sikap orang tua (terutama ibu) pada masa mereka dalam kandungan.
Dalam keluarga hendaknya peran orang tua sangat penting.ada beberapa hal yang perlu menjadi kepedulian (perhatian) orang tua sebagai berikut:
1. Menjadi sosok yang patut di tiru,karena pada masa anak anak ini mereka akan mengidentifikasi sosok yang mereka kenal.
2. Mebveri perlakuan yang baik,sekalipun si anak melakukan kesalahan.
3. Orang tua hendaknya membimbing, mengajarkan atau melatih ajaran agama terhadap anak.
2.      Lingkungan sekolah
Sekolah merupakan lembaga formal yang mempunyai progam yang sitematik yang melaksanakan bimbingan, pengajaran dan latihan kepada anak (siswa) agar mereka berkembang sesuai dengan yang di harapkan. Menurut hurlock (1959 :561) pengaruh sekolah terhadap perkembangan kepribadian anak snagat besar, karena sekolah meruapakan subtitusi dari keluarga dan guru-guru subtitusi dari orang tua.
Dalam kaitannya dengan proses pengambanagan keagamaanpara siswa, maka sekolah berperan penting dalam mengembangkan wawasan pemahaman, pembiasaan mengamalkan ibadah atau akhlak melalui pelajaran agama.
Lingkungan masyarakat.
3.      Lingkungan Masyarakat
Yang di magsud lingkungan masyarakat di sisni adalah situasi atau kondisi interaksi sosial dan sosiokultural yang secara potensial berpengaruh terhadap terhadap perkembangan fitrah beragama atau kesadaran beragama individu.
Di dalam masyarakat, individu akan melakukan interaksi sisial dengan teman sebayanya atau anggota masyarakat lainya. Menurut Hurlock (1959: 436) mengemukakan bahwa “standar atau aturan gang (kelompok bermain) memberikan pengaruh kepada pandangan moral dan tingkah laku para anggotanya” Corak perilaku anak merupakan cermin dari corak atau perilaku masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu di sini dapat di kemukakan bahwa kualitas perkembangan kesadaran beragama bagi anak sanagt bergantung pada kulaitas perilaku atau pribadi orang dewasa atau warga masyarakat.[3]

D.      Sifat-sifat agama pada anak-anak
Memahami konsep keagamaan pada anak-anak berarti memahami sifat agama pada anak-anak. Sesuai dengan ciri yang mereka miliki, maka sifat agama pada anak-anak tumbuh mengikuti pola ideas concept on outhority. Ide keagamaan pada anak sepenuhnya autoritaruis, maksudnya konsep keagamaan pada siri mereka dipengaruhi oleh faktor dari luar diri mereka. Hal tersebut dapat dimengerti karena anak sejak usia muda telah terlihat, mempelajari hal-hal yang berada diluar diri mereka. Merekatelah melihat dan mengikuti apa-apa yang dikerjakan dan diajarkan orang dewasa dan orang tua mereka tentang sesuatu yang berhubungan dengan kemashlahatan agama. Orang tua mempunyai pengaruh terhadap anak sesuai dengan prinsif dengan eksplorasi yang mereka miliki. Dengan demikian ketaatan kepada ajaran agama merupakan kebiasaan yang menjadi milik mereka yang mereka pelajari dari para orang tua  maupun guru mereka. Bagi mereka sangat mudah  untuk menerima ajaran dari orang dewasa walaupun belum mereka sadari sepenuhnya manfaat ajaran tersebut. Berdasarkan hal itu, maka bentuk dan sifat agama pada diri anak dapat dibagi atas:
1.        Unreflective (tidak mendalam)
Dalam penelitian Machion tentang sejumlah konsep ketuhanan padadiri anak 73% mereka menganggap Tuhan itu bersifat seperti manusia. Dengan demikian, anggapan mereka terhadap ajaran agama dapat saja mereka terima dengan tanpa kritik. Kebenaran yang mereka terima tidakbegitu mendalam sehingga cukup sekedarnya saja dan mereka sudah merasa puas dengan keterangan yang kadang-kadang kurang masuk akal. Meskipun demikian pada beberapa orang anak terdapat mereka yang memiliki ketajaman pikirang untuk menimbang pendapat yang mereka terima dari orang lain.
2.        Egosentris
Anak memiliki kesadaran akan diri sendiri sejak tahun pertama usia perkembangannya dan akan berkembang sejalan dengan pertambahan pengalamannya. Apabila kesadaran akan diri itu mulai subur pada diri anak, maka akan tumbuh keraguan pada rasa egonya. Sehubungan dengan hal itu, maka dalam masalah keagamaan anak telah menonjolkan kepentingan dirinya dan telah menuntut konsep keagamaan yang mereka pandang dari kesenangan pribadinya.
3.        Anthromorphis
Pada umumnya konsep mengenai ketuhanan pada anak berasal dari hasil pengalamannya dikala ia berhubungan dengan orang lain. Tapi suatu kenyataan bahwa konsep ketuhanan mereka tampak jelas menggambarkan aspek-aspek kemanusiaan. Melalui konsep yang terbentuk dalam pikiran mereka menganggap bahwa perikeadaan Tuhan itu sama dengan manusia. Pekerjaan Tuhan mencari dan menghukum orang yang berbuat jahat.
4.        Verbalis dan ritualis
Dari kenyataan yang kita alami ternyata kehidupan agama padaanak-anaksebagian besar tumbuh mula-mula secaraverbal (ucapan). Mereka mengahapal secara verbal kalimat-kalimat keagamaan dan selain itu pula dari amaliah yang mereka laksanakan berdasarkan pengalaman menurut tuntunan yang diajarkan kepada mereka.
5.        Imitatif
Dalam kehidupan sehari-hari dapat kita saksikan bahwa tindak keagamaan yang dilakukan oleh anak-anak pada dasarnya diperoleh dari meniru. Berdo’a dan shalat misalnya mereka laksanakan karena hasil melihat perbuatan di lingkungan, baik berupa pembiasaan ataupun pengajaran yang intensif. Para ahli jiwa menganggap, bahwa segala hal anak merupakan peniru yang ulung. Sifat peniru ini merupakan modal yang positif  dalam pendidikan keagamaan pada anak.
6.        Rasa heran
Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan yang terakhir pada anak. Berbeda dengan rasa kagum yang ada padaorang dewasa, maka rasa kagum pada anak ini belum bersifat kritis dan kreatif. Mereka hanya kagum terhadap keindahan lahiriyah saja. Hal ini merupakan langkah pertama dari pernyataan kebutuhan anak akan dorongan untuk mengenal sesuatu yang baru (new experience). Rasa kagum mereka dapat disalurkan melalui cerita-cerita yang menimbulkan rasa takjub.[4]

E.       Pendekatan Pembinaan Agama pada Anak
Dalam pembinaan agama pada diri pribadi anak sangat diperlukan pembiasaan dan latihan-latihan yang cocok dan yang sesuai dengan perkembangan jiwanya. Karena pembiasaan dan latihan-latihan tersebut akan membentuk sikap tertentu pada anak, yang lambat laun sikap itu akan bertambah jelas dan kuat, akhirnya tidak tergoyahkan lagi karena telah masuk menjadi bagian dari pribadinya.
Untuk membina agar anak-anak mempunyai sifat terpuji tidaklah mungkin dengan penjelasan saja, akan tetapi perlu membiasakannya untuk melakukan yang baik yang diharapkan nanti dia akan mempunyai sifat-sifat itu, dan menjauhi sifat-sifat tercela. Kebiasaan dan latihan itulah yang membuat anak cenderung melakukan perbuatan yang baik dan meninggalkan yang kurang baik.
Demikian pula dengan pendidikan agama, semakin kecil umur anak, hendaknya semakin banyak latihan dan pembiasaan agama yang dilakukan pada anak, dan semakin bertambah umur anak, hendaknya semakin bertambah pula penjelasan dan pengertian tentang agama itu sesuai dengan perkembangan yang dijelaskannya.
Pembentukan sikap, pembinaan moral dan pribadi pada umumnya, terjadi melalui pengalaman sejak kecil. Pendidik atau pembina yang pertama adalah orang tua, kemudian guru. Sikap anak terhadap agama dibentuk pertama kali di rumah melalui pengalaman yang didapat dari orang tuanya, kemudian dissempurnakan dan diperbaiki oleh guru disekolah maupun ditempat pengajian seperti masjid, mushola, TPQ dan madrasah diniyyah.
Latihan- latihan yang menyangkut ibadah seperti sembahyang, do’a, membaca al-Qur’an, sopan santun, dan lain sebagainya, semua itu harus dibiasakan sejak kecil, sehingga lama-kelamaan akan tumbuh rasa senang dan terbiasa dengan aktifitas tersebut tanpa ada rasa terbebani sedikitpun. Latihan keagamaan yang menyangkut akhlak dan sosial atau hubungan manusia dengan manusia yang sesuai dengan ajaran agama juga tidak hanya dijelaskan dengan kata-kata, latihan disini diberikan melalui perilaku yang terpuji, baik itu dari orang tua maupun guru, seperti pemberian sedekah kepada fakir miskin, berkurban, menolong terhadap sesama, dan sebagainya. Oleh karena itu guru agama mempunyai kepribadian yang dapat mencerminkan ajaran agama seperti apa yang diajarkan kepada anak didiknya.
Kepercayaan kepada Tuhan dan agama pada umumnya tumbuh melalui latihan dan pembiasaan sejak kecil, dengan kata lain pembiasaan dalam pendidikan pada anak sangat penting, terutama pembentukan pribadi akhlak dan agama pada umumnya. Hal itu dikarenakan pembiasaan-pembiasaan tersebut akan memasukkan unsur-unsur positif pada pribadi anak yang sedang tumbuh. Semakin banyak pengalaman agama yang didapatkanya melalui pembiasaan itu, maka akan banyak pula unsur-unsur agama dalam pribadinya, dan semakin mudah dia memahami sebuah ajaran agama yang akan dijelaskan oleh guru agamanya di kemudian hari.
Secara rinci, pembinaan agama kepada anak yang sesuai dengan sifat keberagamaan anak maka dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan, antara lain:
1. Pembinaan agama lebih banyak bersifat pengalaman langsung seperti shalat berjamaah, bersedekah, zakat, berkurban, meramaikan hari raya dengan menggemakan takbir, dan lain sebagainya. Pengalaman agama secara langsung tersebut dapat ditambah dengan penjelasan sekedarnya saja atau pesan-pesan yang disampaikan melalui dongeng, cerita, main drama, nyanyian, permainan sehingga tidak membabani mental maupun pikiran mereka.
2. Kegiatan agama disesuaikan dengan kesenangan anak-anak, mengingat sifat agama masih bersifat egosentris. Sehingga model pembinaan agama bukan mengikuti kemauan orang tua maupun guru saja, melainkan harus dengan banyak variasi agar anak tidak bosan. Untuk itu, orang tua dan guru harus memiliki banyak ide dan kreativitas tentang strategi dan teknik pembinaan agama, sehingga setiap saat bisa berganti-ganti pendekatan dan metode walaupun materi yang disampaikan boleh jadi sama.
3. Pengalaman agama anak, selain didapat dari orang tua, guru dan teman-temannya, mereka juga belajar dari orang yang disekitarnya yang tidak mengajarinya secara langsung. Untuk itu pembinaan agama anak juga penting dilakukan melalui pembauran secara langsung dengan masyarakat luas yang terkait dengan kegiatan agama seperti waktu mengikuti sholat jum’at, tarawih, hari raya, maupun kegiatan lainnya. Dengan mengajak anak sekali waktu berbaur secara langsung dengan masyarakat yang melakukan peribadatan maka anak akan semakin termotivasi untuk menirukan perilaku-perilaku agama yang dilakukan oleh masyarakat umum. Hal ini perlu dilakukan mengingat agama anak masih bersifat anthromorphis.
4. Pembinaan agama kepada anak juga perlu dilakukan secara berulang-ulang melalui ucapan yang jelas serta tindakan secara langsung. Seperti mengajak anak shalat, maka terlebih dahulu diajarkan mengenai hafalan bacaan-bacaan shalat secara berulang-ulang hingga anak tersebut hafal diluar kepala. Hal tersebut diiringi dengan tindakan atau praktik sholat secara langsung dan akan lebih menarik jika dilakukan bersama teman-temannya. Setelah anak hafal tentang bacaan-bacaan sholat, maka seiring dengan bertambah usia, pengalaman, dan pengetahuannya barulah dijelaskan tentang syarat, rukun, serta hikmah shalat. Demikian pula pada pembinaan-pembinaan agama lainnya.
5. Mengingat sifat agama masih imitatif, maka pemberian contoh nyata dari orang tua guru dan masyarakat lingkungannya sangatlah penting. Untuk itu dalam proses pembinaan tersebut, perilaku orang tua maupun guru harus benar-benar dapat dicontoh anak baik secara ucapan maupun tindakan.
6. Perlunya melkukan kunjungan ke tempat-tempat atau pusat-pusat agama yang lebih besar kapasitasnya. Misalnya anak-anak yang tinggal di desa sesekali perlu diajak berkunjung ke masjid jami’ yang ada di kota yang bangunan-bangunan dan jumlah jama’ahnya lebih besar. Atau bisa juga anak diajak berkunjung ke pondok pesantren, kampus-kampus islam, dan lain sebagainya. Selain dengan kunjungan, anak dapat diajari tentang agama melalui layar kaca televisi ataupun VCD. Pembinaan dengan cara ini sangatlah penting mengingat rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan pada anak.[5]




























BAB III
PENUTUP
Simpulan
Manusia dilahirkan dalam keadaan lemah, fisik maupun psikis. Walaupun dalam keadaan yang demikian ia telah memiliki kemampuan bawaan yang bersifat laten. Potensi bawaan ini memerlukan pengembangan melalui bimbingan dan pemeliharaan yang mantap lebih-lebih pada usia dini.
Melalui penelitian Ernest Harms perkembangan agama anak-anak itu melalui  mengatakan bahwa perkembangan agama pada anak-anak itu melalui tiga tingkatan, yaitu:
1.      The Fairy Tale Stage (tingkat dongeng)
2.      The Ralistic Stage (tingkat kenyataan)
3.      The Ralistic Stage (tingkat kenyataan)
Adapun faktor yang membentuk anak mulai mengenal dan mendalami agama tak terlepas dari faktor-faktor berikut yaitu :
a.    Faktor intern (bawaan)
b.      Faktor lingkungan (external)
1.      Lingkungan keluarga
2.      Lingkungan sekolah
3.      Lingkungan masyarakat
Sifat agama pada diri anak dapat dibagi atas:
1.      Unreflective (tidak mendalam)
2.      Egosentris
3.      Anthromorphis
4.      Verbalis dan Herbalis
5.      Imitative
6.      Rasa heran




DAFTAR PUSTAKA

Jalaludin.H,Psikologi Agama,Jakarta : Pt. Raja Grafindo Persada,2003

Jalaludin Dan Ramayulis,Pengantar Ilmu Jiwa Agama,Jakarta: Kalam Mulia,1993

anak.html#!/2011/04/perkembangan-jiwa-keagamaan-pada-anak.html




[1] Prof. Dr. H. Jalaluddin, Psikologi Agama (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), h. 63-66

[2]Ibid, h. 66-70
[3]Jalaludin Dan Ramayulis,Pengantar Ilmu Jiwa Agama,Jakarta: Kalam Mulia,1993
[4] Prof. Dr. H. Jalaluddin, Psikologi Agama (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), h.
[5]http://aminfuadi99.blogspot.com/2011/04/perkembangan-jiwa-keagamaan-pada-anak.html#!/2011/04/perkembangan-jiwa-keagamaan-pada-anak.html

1 komentar: