BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Sebuah kata bijak
menyebutkan bahwa masa sekarang di pengaruhi oleh masa yang terdahulu, begitu
juga dengan sifat keberagamaan pada manusia, bahwasanya tingkat kesadaran agama
pada tiap manusia sangat di pengaruhi pada masa kecilnya.
Masa kanak-kanak adalah
masa dimana serang individu mulai dapat berinteraksi dengan individu yang
lainya, pada masa inilah sebenarnya masa emas dimana seseorang di perkenalkan
dengan agama, karena di masa ini anak yang secara pikiran belum terlalu kritis
dalam arti setiap apa yang di berikan oleh orang tuanya akan di terimanaya.
Dalam masa perkembangan
keagamanya seorang individu, terdapat faktor faktor yang sangat mempengaruhi
keagamaanya, faktor itu dapat berasal dari dalam dirinya atau bersal dari
faktor luar. Dalam makalah kali ini penulis akan berusaha menjelaskan proses
perkembangan jiwa agama pada anak.
Manusia di lahirkan
dalam keadaan lemah jasmani maupun rohani,sejalan dengan bertambahnya umur maka
manusia mulai menjalani perubahan pada dirinya baik dari unsur jasmani maupun
rohani.
B. Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan di bahas di dalam
makalah ini ialah:
A. Bagaimana Timbulnya Jiwa Keagamaan
pada Anak?
B. Bagaimana Perkembangan Agama pada
Anak?
C. Apa saja Faktor
Pembentuk Jiwa Keagamaan pada Anak?
D. Apa saja
sifat-sifat Agama pada Anak-anak ?
E. Bagaimana Pendekatan
Pembinaan Agama pada anak?
C. Tujuan Penulisan
Makalah ini di susun selain untuk
memenuhi tugas dalam mata kuliah Psikologi Agama, juga untuk mengetahui
perkembangan Jiwa Agama pada Anak.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Timbulnya jiwa keagamaan pada anak
Manusia dilahirkan dalam keadaan lemah, fisik maupun
psikis. Walaupun dalam keadaan yang demikian ia telah memiliki kemampuan bawaan
yang bersifat laten. Potensi bawaan ini memerlukan pengembangan melalui
bimbingan dan pemeliharaan yang mantap lebih-lebih pada usia dini.
Sesuai dengan prinsip pertumbuhan maka seorang anak
menjadi dewasa memerlukan bimbingan sesuai dengan prinsip yang dimilikinya,
yaitu:
1. Prinsip
biologis
Secara fisik anak yang baru dilahirkan dalam keadaan
lemah. Dalam gejala gerak dan tindakan tanduknya ia selalu memerlukan bantuan
dari orang-orang dewasa disekelilingnya. Dengan kata lain, ia belum dapat
berdirisendiri karena manusia bukanlah merupakan makhluk instinktif. Keadaan
tubuhnya belum tumbuh secara sempurna untuk difungsikan secara maksimal.
2. Prinsip
tanpa daya
Sejalan dengan belum sempurnanya pertumbuhan fisik
dan psikisnya maka anak yang baru dilahirkan hingga menginjak usia dewasa
selalu mengharapkan bantuan dari orang tuanya. Ia sama sekali tidak berdaya
untuk mengurus dirinya sendiri.
3. Prinsif
eksplorasi
Kemantapan dan kesempurnaan perkembangan potensi
manusia yang dibawanya sejak lahir baik jasmani maupun rohani memerlukan
pengembangan melalui pemeliharaan dan latihan. Jasmaninya baru akan berfungsi
secara sempurna jika dipelihara dan dilatih. Akal dan fungsi mental lainnya pun
baru akan menjadi baik daqn berfungsi kematangan dan pemeliharaan serta
bimbingan dapat diarahkan kepada pengeksplorasian perkembangannya.[1]
Kesemuanya itu tidak dapat dipenuhi
secara sekaligus melainkan melalui pertahapan. Demikian juga perkembangan agama
pada anak.
Menurut beberapa ahli anak dilahirkan bukanlah
sebagai makhluk yang religius. Anak yang baru dilahirkan lebih mirip binatang
dan malahan mereka mengatakan anak seekor kera lebih bersifat kemanusiaan
daripada bayi manusia itu sendiri. Selain itu ada pula yang berpendapat
sebaliknya bahwa anak sejak dilahirkan telah membawa fitrah keagamaan. Fitrah
itu baru berfungsi dikemudian hari melalui proses bimbingan dan latihan setelah
berada pada tahap kematangan. Ada beberapa teori mengenai pertumbuhan agama
pada anak antara lain:
1. Rasa
ketergantungan (Sense of Depende)
Teori ini dikemukakan oleh Thomas melalui teori Four
Wishes. Menurutnya, manusia dilahirkan ke dunia ini memiliki empat
keinginan, yaitu:
a)
Keinginan untuk perlindungan (security)
b)
Keinginan akan pengalaman baru (new
experience)
c)
Keinginan untuk mendapat tanggapan
(response)
d) Keinginan
untuk dikenal (recognation)
Berdasarkan kenyataan
dan kerjasama dari keempat keinginan itu, maka bayi sejak dilahirkan hidup
dalam ketergantungan. Melalui pengalaman-pengalaman yang diterimanya dari
lingkungan itu kemudian terbentuklah rasa keagamaan pada diri anak.
2. Instink
keagamaan
Menurut Woodworth, bayi yang dilahirkan sudah
memiliki beberapa instink diantaranya instink keagamaan. Misalnya instink
social pada anak sebagai potensi bawaannya sebagai makhluk homo socius,
baru akanberfungsi setelah anak dapat bergaul dan berkemampuan untuk
berkomunikasi. Jadi instink social itu tergantung dari kematangan fungsi
lainnya. Demikian pula instink keagamaan.
B. Perkembangan Agama pada Anak
Melalui penelitian Ernest Harms perkembangan
agama anak-anak itu melalui mengatakan
bahwa perkembangan agama pada anak-anak itu melalui tiga tingkatan, yaitu:
1.
The Fairy Tale Stage
(tingkat dongeng)
Tingkatan ini dimulai pada anak berusia 3-6 tahun.
Pada tingkatan ini konsep mengenai Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi
dan emosi. Pada tingkat perkembangan ini anak menghayati konsep ke-Tuhanan
sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya. Kehidupan masa ini masih
banyak dipengaruhi kehidupan fantasi hingga dalam menanggapi agama pun anak
masih menggunakan konsep fantastis yang diliputi oleh dongeng-dongeng yang
kurang masuk akal.
2.
The Ralistic Stage
(tingkat kenyataan)
Tingkat ini dimulai sejak anak masuk Sekolah Dasar.
Pada masa ini, ide ketuhanan anak sudah mencerminkan konsep-konsep yang
berdasarkan kepada kenyataan (realis). Konsep ini timbul melalui
lembaga-lembaga keagamaan dan pengajaran agama dari orang dewasa lainnya. Pada
masa ini ide keagamaan pada anak didasarkan atas dorongan emosional, hingga
mereka dapat melahirkan konsep Tuhan yang formalis. Berdasarkan hal itu maka
pada masa ini anak tertarik dan senang pada lembaga keagamaan yang mereka lihat
dikelola oleh orang dewasa dalam lingkungan mereka.
3.
The Ralistic Stage
(tingkat kenyataan)
Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi
yang paling tinggi sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan
yang individualistis ini terbagi atas tiga golongan, yaitu:
a)
Konsep ketuhanan yang konvensional dan
konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi. Hal tersebut disebabkan
oleh pengaruh luar.
b)
Konsep ketuhanan yang lebih murni yang
dinyatakan dalam pandangan yang bersifat personal (perorangan).
c)
Konsep ketuhanan yang bersifat
humanistik. Agama telah menjadi etos humanis pada diri mereka dalam menghayati
ajaran agama. Perubahan ini setiap tingkatan dipengaruhi oleh factor entern
yaitu perkembangan usia dan factor ekstern berupa pengaruh luar yang
dialaminya.[2]
C.
Faktor Pembentuk Jiwa Keagamaan
pada Anak
Adapun faktor yang membentuk anak mulai mengenal dan
mendalami agama tak terlepas dari faktor-faktor berikut yaitu :
a.
Faktor intern (bawaan)
Di masyarakat yang masih primitif muncul kepercayaan
terhadap roh-roh gaib yang dapat memberikan kebaikan atau bahkan malapetaka.
Agar roh-roh itu tidak berperilaku jahat, maka mereka berusaha untuk
mendekatinya melalui saji-sajian (bahasa sunda = sasajen ) yang di persembahkan
kepada roh roh tersebut. Bahkan di kalangan modern pun masih ada yang mempunyai
kepercayaan kepad hal-hal yang sifatnya tahayul tersebut. Kenyataan di atas
membuktikan bahwa manusia itu memiliki fitrah untuk mempercayai suatu zat yang
mempunyai kekuatan baik memberikan sesuatu yang bermanfaat maupun yang
madharat.
Dalam perkembangannya, fitrah beragama ini ada yang
berjalan secara alamiah (seperti contoh-contoh diatas) dan ada juga yang
mendapatkan bimbingan dari para rasul Allah SWT.
b.
Faktor lingkungan (external)
1.
Lingkungan keluarga
Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi
anak oleh karena itu kedudukan keluarga dalam pengembangan kepribadian anak
sangatlah dominan.
Menurut Hurlock (1959 :434) keluarga merupakan “training centre” bagi penanaman nilai-nilai.pengembangan fitrah atau jiwa beragama anak, seyogyanya bersamaan dengan perkembangan kepribadianya, yaitu sejak lahir bahkan lebih dari itu sejak dalam kandungan. Pandangan ini ini di dasarkan pengamatan para ahli jiwa terhadap orang yang mengalami gangguan jiwa; ternyata mereka itu di pengaruhi oleh keadaan emosi atau sikap orang tua (terutama ibu) pada masa mereka dalam kandungan.
Menurut Hurlock (1959 :434) keluarga merupakan “training centre” bagi penanaman nilai-nilai.pengembangan fitrah atau jiwa beragama anak, seyogyanya bersamaan dengan perkembangan kepribadianya, yaitu sejak lahir bahkan lebih dari itu sejak dalam kandungan. Pandangan ini ini di dasarkan pengamatan para ahli jiwa terhadap orang yang mengalami gangguan jiwa; ternyata mereka itu di pengaruhi oleh keadaan emosi atau sikap orang tua (terutama ibu) pada masa mereka dalam kandungan.
Dalam keluarga hendaknya peran orang tua sangat
penting.ada beberapa hal yang perlu menjadi kepedulian (perhatian) orang tua
sebagai berikut:
1. Menjadi sosok yang patut di tiru,karena pada masa
anak anak ini mereka akan mengidentifikasi sosok yang mereka kenal.
2. Mebveri perlakuan yang baik,sekalipun si anak
melakukan kesalahan.
3. Orang tua hendaknya membimbing, mengajarkan atau
melatih ajaran agama terhadap anak.
2. Lingkungan
sekolah
Sekolah merupakan lembaga formal yang mempunyai
progam yang sitematik yang melaksanakan bimbingan, pengajaran dan latihan
kepada anak (siswa) agar mereka berkembang sesuai dengan yang di harapkan. Menurut
hurlock (1959 :561) pengaruh sekolah terhadap perkembangan kepribadian anak
snagat besar, karena sekolah meruapakan subtitusi dari keluarga dan guru-guru
subtitusi dari orang tua.
Dalam kaitannya dengan proses pengambanagan
keagamaanpara siswa, maka sekolah berperan penting dalam mengembangkan wawasan
pemahaman, pembiasaan mengamalkan ibadah atau akhlak melalui pelajaran agama.
Lingkungan
masyarakat.
3. Lingkungan
Masyarakat
Yang di magsud lingkungan masyarakat di sisni adalah
situasi atau kondisi interaksi sosial dan sosiokultural yang secara potensial
berpengaruh terhadap terhadap perkembangan fitrah beragama atau kesadaran
beragama individu.
Di dalam masyarakat, individu akan melakukan interaksi sisial dengan teman sebayanya atau anggota masyarakat lainya. Menurut Hurlock (1959: 436) mengemukakan bahwa “standar atau aturan gang (kelompok bermain) memberikan pengaruh kepada pandangan moral dan tingkah laku para anggotanya” Corak perilaku anak merupakan cermin dari corak atau perilaku masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu di sini dapat di kemukakan bahwa kualitas perkembangan kesadaran beragama bagi anak sanagt bergantung pada kulaitas perilaku atau pribadi orang dewasa atau warga masyarakat.[3]
Di dalam masyarakat, individu akan melakukan interaksi sisial dengan teman sebayanya atau anggota masyarakat lainya. Menurut Hurlock (1959: 436) mengemukakan bahwa “standar atau aturan gang (kelompok bermain) memberikan pengaruh kepada pandangan moral dan tingkah laku para anggotanya” Corak perilaku anak merupakan cermin dari corak atau perilaku masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu di sini dapat di kemukakan bahwa kualitas perkembangan kesadaran beragama bagi anak sanagt bergantung pada kulaitas perilaku atau pribadi orang dewasa atau warga masyarakat.[3]
D.
Sifat-sifat agama pada anak-anak
Memahami konsep keagamaan pada anak-anak berarti
memahami sifat agama pada anak-anak. Sesuai dengan ciri yang mereka miliki,
maka sifat agama pada anak-anak tumbuh mengikuti pola ideas concept on
outhority. Ide keagamaan pada anak sepenuhnya autoritaruis, maksudnya
konsep keagamaan pada siri mereka dipengaruhi oleh faktor dari luar diri
mereka. Hal tersebut dapat dimengerti karena anak sejak usia muda telah
terlihat, mempelajari hal-hal yang berada diluar diri mereka. Merekatelah melihat
dan mengikuti apa-apa yang dikerjakan dan diajarkan orang dewasa dan orang tua
mereka tentang sesuatu yang berhubungan dengan kemashlahatan agama. Orang tua
mempunyai pengaruh terhadap anak sesuai dengan prinsif dengan eksplorasi yang
mereka miliki. Dengan demikian ketaatan kepada ajaran agama merupakan kebiasaan
yang menjadi milik mereka yang mereka pelajari dari para orang tua maupun guru mereka. Bagi mereka sangat
mudah untuk menerima ajaran dari orang
dewasa walaupun belum mereka sadari sepenuhnya manfaat ajaran tersebut.
Berdasarkan hal itu, maka bentuk dan sifat agama pada diri anak dapat dibagi
atas:
1.
Unreflective
(tidak mendalam)
Dalam penelitian Machion tentang sejumlah konsep
ketuhanan padadiri anak 73% mereka menganggap Tuhan itu bersifat seperti
manusia. Dengan demikian, anggapan mereka terhadap ajaran agama dapat saja
mereka terima dengan tanpa kritik. Kebenaran yang mereka terima tidakbegitu
mendalam sehingga cukup sekedarnya saja dan mereka sudah merasa puas dengan
keterangan yang kadang-kadang kurang masuk akal. Meskipun demikian pada
beberapa orang anak terdapat mereka yang memiliki ketajaman pikirang untuk
menimbang pendapat yang mereka terima dari orang lain.
2.
Egosentris
Anak memiliki kesadaran akan diri sendiri sejak
tahun pertama usia perkembangannya dan akan berkembang sejalan dengan
pertambahan pengalamannya. Apabila kesadaran akan diri itu mulai subur pada
diri anak, maka akan tumbuh keraguan pada rasa egonya. Sehubungan dengan hal
itu, maka dalam masalah keagamaan anak telah menonjolkan kepentingan dirinya
dan telah menuntut konsep keagamaan yang mereka pandang dari kesenangan
pribadinya.
3.
Anthromorphis
Pada umumnya konsep mengenai ketuhanan pada anak
berasal dari hasil pengalamannya dikala ia berhubungan dengan orang lain. Tapi
suatu kenyataan bahwa konsep ketuhanan mereka tampak jelas menggambarkan
aspek-aspek kemanusiaan. Melalui konsep yang terbentuk dalam pikiran mereka
menganggap bahwa perikeadaan Tuhan itu sama dengan manusia. Pekerjaan Tuhan
mencari dan menghukum orang yang berbuat jahat.
4.
Verbalis dan ritualis
Dari kenyataan yang kita alami ternyata kehidupan
agama padaanak-anaksebagian besar tumbuh mula-mula secaraverbal (ucapan).
Mereka mengahapal secara verbal kalimat-kalimat keagamaan dan selain itu pula
dari amaliah yang mereka laksanakan berdasarkan pengalaman menurut tuntunan
yang diajarkan kepada mereka.
5.
Imitatif
Dalam kehidupan sehari-hari dapat kita saksikan
bahwa tindak keagamaan yang dilakukan oleh anak-anak pada dasarnya diperoleh
dari meniru. Berdo’a dan shalat misalnya mereka laksanakan karena hasil melihat
perbuatan di lingkungan, baik berupa pembiasaan ataupun pengajaran yang
intensif. Para ahli jiwa menganggap, bahwa segala hal anak merupakan peniru
yang ulung. Sifat peniru ini merupakan modal yang positif dalam pendidikan keagamaan pada anak.
6.
Rasa heran
Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat
keagamaan yang terakhir pada anak. Berbeda dengan rasa kagum yang ada padaorang
dewasa, maka rasa kagum pada anak ini belum bersifat kritis dan kreatif. Mereka
hanya kagum terhadap keindahan lahiriyah saja. Hal ini merupakan langkah
pertama dari pernyataan kebutuhan anak akan dorongan untuk mengenal sesuatu
yang baru (new experience). Rasa kagum mereka dapat disalurkan melalui
cerita-cerita yang menimbulkan rasa takjub.[4]
E.
Pendekatan Pembinaan Agama pada Anak
Dalam pembinaan agama pada diri pribadi anak sangat
diperlukan pembiasaan dan latihan-latihan yang cocok dan yang sesuai dengan
perkembangan jiwanya. Karena pembiasaan dan latihan-latihan tersebut akan
membentuk sikap tertentu pada anak, yang lambat laun sikap itu akan bertambah
jelas dan kuat, akhirnya tidak tergoyahkan lagi karena telah masuk menjadi
bagian dari pribadinya.
Untuk membina agar anak-anak mempunyai sifat terpuji
tidaklah mungkin dengan penjelasan saja, akan tetapi perlu membiasakannya untuk
melakukan yang baik yang diharapkan nanti dia akan mempunyai sifat-sifat itu,
dan menjauhi sifat-sifat tercela. Kebiasaan dan latihan itulah yang membuat
anak cenderung melakukan perbuatan yang baik dan meninggalkan yang kurang baik.
Demikian pula dengan pendidikan agama, semakin kecil umur anak, hendaknya semakin banyak latihan dan pembiasaan agama yang dilakukan pada anak, dan semakin bertambah umur anak, hendaknya semakin bertambah pula penjelasan dan pengertian tentang agama itu sesuai dengan perkembangan yang dijelaskannya.
Demikian pula dengan pendidikan agama, semakin kecil umur anak, hendaknya semakin banyak latihan dan pembiasaan agama yang dilakukan pada anak, dan semakin bertambah umur anak, hendaknya semakin bertambah pula penjelasan dan pengertian tentang agama itu sesuai dengan perkembangan yang dijelaskannya.
Pembentukan sikap, pembinaan moral dan pribadi pada
umumnya, terjadi melalui pengalaman sejak kecil. Pendidik atau pembina yang
pertama adalah orang tua, kemudian guru. Sikap anak terhadap agama dibentuk
pertama kali di rumah melalui pengalaman yang didapat dari orang tuanya,
kemudian dissempurnakan dan diperbaiki oleh guru disekolah maupun ditempat
pengajian seperti masjid, mushola, TPQ dan madrasah diniyyah.
Latihan- latihan yang menyangkut ibadah seperti
sembahyang, do’a, membaca al-Qur’an, sopan santun, dan lain sebagainya, semua
itu harus dibiasakan sejak kecil, sehingga lama-kelamaan akan tumbuh rasa
senang dan terbiasa dengan aktifitas tersebut tanpa ada rasa terbebani
sedikitpun. Latihan keagamaan yang menyangkut akhlak dan sosial atau hubungan
manusia dengan manusia yang sesuai dengan ajaran agama juga tidak hanya
dijelaskan dengan kata-kata, latihan disini diberikan melalui perilaku yang
terpuji, baik itu dari orang tua maupun guru, seperti pemberian sedekah kepada
fakir miskin, berkurban, menolong terhadap sesama, dan sebagainya. Oleh karena
itu guru agama mempunyai kepribadian yang dapat mencerminkan ajaran agama
seperti apa yang diajarkan kepada anak didiknya.
Kepercayaan kepada Tuhan dan agama pada umumnya
tumbuh melalui latihan dan pembiasaan sejak kecil, dengan kata lain pembiasaan
dalam pendidikan pada anak sangat penting, terutama pembentukan pribadi akhlak
dan agama pada umumnya. Hal itu dikarenakan pembiasaan-pembiasaan tersebut akan
memasukkan unsur-unsur positif pada pribadi anak yang sedang tumbuh. Semakin
banyak pengalaman agama yang didapatkanya melalui pembiasaan itu, maka akan
banyak pula unsur-unsur agama dalam pribadinya, dan semakin mudah dia memahami
sebuah ajaran agama yang akan dijelaskan oleh guru agamanya di kemudian hari.
Secara rinci, pembinaan agama kepada anak yang
sesuai dengan sifat keberagamaan anak maka dapat dilakukan melalui beberapa
pendekatan, antara lain:
1. Pembinaan agama lebih banyak bersifat pengalaman
langsung seperti shalat berjamaah, bersedekah, zakat, berkurban, meramaikan
hari raya dengan menggemakan takbir, dan lain sebagainya. Pengalaman agama
secara langsung tersebut dapat ditambah dengan penjelasan sekedarnya saja atau
pesan-pesan yang disampaikan melalui dongeng, cerita, main drama, nyanyian,
permainan sehingga tidak membabani mental maupun pikiran mereka.
2. Kegiatan agama disesuaikan dengan kesenangan
anak-anak, mengingat sifat agama masih bersifat egosentris. Sehingga model
pembinaan agama bukan mengikuti kemauan orang tua maupun guru saja, melainkan
harus dengan banyak variasi agar anak tidak bosan. Untuk itu, orang tua dan
guru harus memiliki banyak ide dan kreativitas tentang strategi dan teknik
pembinaan agama, sehingga setiap saat bisa berganti-ganti pendekatan dan metode
walaupun materi yang disampaikan boleh jadi sama.
3. Pengalaman agama anak, selain didapat dari orang
tua, guru dan teman-temannya, mereka juga belajar dari orang yang disekitarnya
yang tidak mengajarinya secara langsung. Untuk itu pembinaan agama anak juga
penting dilakukan melalui pembauran secara langsung dengan masyarakat luas yang
terkait dengan kegiatan agama seperti waktu mengikuti sholat jum’at, tarawih,
hari raya, maupun kegiatan lainnya. Dengan mengajak anak sekali waktu berbaur
secara langsung dengan masyarakat yang melakukan peribadatan maka anak akan
semakin termotivasi untuk menirukan perilaku-perilaku agama yang dilakukan oleh
masyarakat umum. Hal ini perlu dilakukan mengingat agama anak masih bersifat anthromorphis.
4. Pembinaan agama kepada anak juga perlu dilakukan
secara berulang-ulang melalui ucapan yang jelas serta tindakan secara langsung.
Seperti mengajak anak shalat, maka terlebih dahulu diajarkan mengenai hafalan
bacaan-bacaan shalat secara berulang-ulang hingga anak tersebut hafal diluar
kepala. Hal tersebut diiringi dengan tindakan atau praktik sholat secara
langsung dan akan lebih menarik jika dilakukan bersama teman-temannya. Setelah
anak hafal tentang bacaan-bacaan sholat, maka seiring dengan bertambah usia,
pengalaman, dan pengetahuannya barulah dijelaskan tentang syarat, rukun, serta
hikmah shalat. Demikian pula pada pembinaan-pembinaan agama lainnya.
5. Mengingat sifat agama masih imitatif, maka
pemberian contoh nyata dari orang tua guru dan masyarakat lingkungannya
sangatlah penting. Untuk itu dalam proses pembinaan tersebut, perilaku orang
tua maupun guru harus benar-benar dapat dicontoh anak baik secara ucapan maupun
tindakan.
6. Perlunya melkukan kunjungan ke tempat-tempat atau
pusat-pusat agama yang lebih besar kapasitasnya. Misalnya anak-anak yang
tinggal di desa sesekali perlu diajak berkunjung ke masjid jami’ yang ada di
kota yang bangunan-bangunan dan jumlah jama’ahnya lebih besar. Atau bisa juga
anak diajak berkunjung ke pondok pesantren, kampus-kampus islam, dan lain
sebagainya. Selain dengan kunjungan, anak dapat diajari tentang agama melalui
layar kaca televisi ataupun VCD. Pembinaan dengan cara ini sangatlah penting
mengingat rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan pada anak.[5]
BAB
III
PENUTUP
Simpulan
Manusia dilahirkan dalam keadaan lemah, fisik maupun
psikis. Walaupun dalam keadaan yang demikian ia telah memiliki kemampuan bawaan
yang bersifat laten. Potensi bawaan ini memerlukan pengembangan melalui
bimbingan dan pemeliharaan yang mantap lebih-lebih pada usia dini.
Melalui penelitian Ernest Harms perkembangan
agama anak-anak itu melalui mengatakan
bahwa perkembangan agama pada anak-anak itu melalui tiga tingkatan, yaitu:
1.
The Fairy Tale Stage
(tingkat dongeng)
2.
The Ralistic Stage
(tingkat kenyataan)
3.
The Ralistic Stage
(tingkat kenyataan)
Adapun faktor yang membentuk anak mulai mengenal dan
mendalami agama tak terlepas dari faktor-faktor berikut yaitu :
a. Faktor
intern (bawaan)
b. Faktor
lingkungan (external)
1. Lingkungan
keluarga
2. Lingkungan
sekolah
3. Lingkungan
masyarakat
Sifat agama pada diri anak dapat dibagi atas:
1.
Unreflective
(tidak mendalam)
2.
Egosentris
3.
Anthromorphis
4.
Verbalis dan Herbalis
5.
Imitative
6.
Rasa heran
DAFTAR
PUSTAKA
Jalaludin.H,Psikologi Agama,Jakarta : Pt. Raja
Grafindo Persada,2003
Jalaludin Dan Ramayulis,Pengantar Ilmu Jiwa Agama,Jakarta: Kalam Mulia,1993
anak.html#!/2011/04/perkembangan-jiwa-keagamaan-pada-anak.html
[3]Jalaludin Dan Ramayulis,Pengantar
Ilmu Jiwa Agama,Jakarta: Kalam Mulia,1993
[4] Prof. Dr. H. Jalaluddin,
Psikologi Agama (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), h.
[5]http://aminfuadi99.blogspot.com/2011/04/perkembangan-jiwa-keagamaan-pada-anak.html#!/2011/04/perkembangan-jiwa-keagamaan-pada-anak.html
minta izin makai ya
BalasHapus